PESAN TULIP
Berkali
sudah aku aku kecewa. Saat setahun terakhir ini aku melaluinya masih tanpa
dirimu. Berkali pula aku menunggu. Tapi tak sekalipun ada suaramu. Katanya kamu
akan menelpon. Hanya sekedar untuk mengejutkanku. Tapi mana janjimu. Apakah kamu
tidak tahu. Di sini aku masih menunggu. Apa kau lupa janjimu. Apa kau lupa
pesanku.
Kulihat
dari jendela ruang tempat aku bekerja. Bulan tersenyum kelu melihat
wajahku. Wajahku memang tak seceria dulu. Saat setahun ini aku melaluinya masih
tanpa dirimu. Katanya kamu akan berkirim surat. Sekedar untuk melepas rindu. Jangankan
surat, pesan pendekpun tak pernah sampai padaku. Hey, apakah kamu tidak
merasakanku. Aku di sini masih menunggu. Apa kau memang telah lupa janjimu,
lupa pesanku.
Angin
menari riang seolah mengejekku sepanjang jalan. Berjalan seorang diri di paruh
malam benar-benar tak membuatku nyaman. Tetapi inilah yang harus kulakukan. Aku
harus berjalan. Hemat pula. Kantor dan rumahku tak terlalu jauh jaraknya. Aku tak
boleh manja. Begitupun, ini kan karena
kamu. Sehingga aku berada di kantor itu. Aku menerima pekerjaan ini karena kamu
telah berjanji. Suatu hari kamu akan meneleponku jika sudah malam. Itu janjimu
beberapa tahun silam. Atau, kamu memang telah lupa janjimu, lupa pesanku.
Atau,
aku harus terima kenyataan. Bahwa dirimu telah jauh berada di seberang lautan. Aku
bukanlah gadis bodoh yang bisa di perdaya cinta. Sehingga aku harus nekat
menyusulmu ke sana. Tak mau aku. Untuk apa juga? Di sini masih banyak pria
tampan sepertimu. Masih banyak yang berkata cinta kepadaku. Tapi bodohnya aku
menolak semuanya. Ah, karena kamu. Apakah kamu masih tak tahu. Di sini aku
tetap menunggu. Atau benar kau telah lupa janjimu, lupa pesanku.
Hari-hari terus berlalu. Tidak peduli sedikitpun tentang diriku. Ternyata,
di sini aku masih menunggu. Menebak setiap dering telpon bahwa itu darimu. Dan lagi-lagi
aku harus kecewa. Karena tak sekalipun aku temui suaramu di sana.
Hingga…
“Vi,
ada telpon dari rumahmu. Sepertinya penting.”
Aku
berlari sekencang-kencangku. Tak peduli lagi berpuluh mata yang memandangku. Apa
mereka juga peduli tentang perasaanku. Saat setahun terakhir ini aku melaluinya
tanpa dirimu.
Langkahku terhenti di muka pintu. Tak percaya aku melihatnya. Aku
coba menahan tapi tak mampu. Air mata ini terlalu deras melaju.
Kupeluk
erat lelaki itu, lelaki yang setahun ini tak menelponku. Lelaki yang datang
malam-malam membawakan oleh-oleh bunga Tulip pesananku. Tapi sepertinya,
sekarang aku tak menginginkan lagi Tulip itu. Yang aku mau lebih dari sekedar
bunga. Aku mau dia.
“Maafkan
aku tak bisa telpon ya. Tapi aku tak lupa janjiku. Aku tidak lupa pesanmu. Ini pesanan
kamu, Sayang.”
“Aku
tak mau Tulip, aku mau kamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar