AUDISI KOMEDI CILIK
“Ingat,
jaga sikap. Manusia lebih mulia derajatnya di mata Tuhan. Nanti kalau adek
berulah, Tuhan bisa marah.”
Nasehat
mama terus mengiang di telingaku. Apa sih hebatnya manusia? Mereka tak bisa
terbang, mereka tak bisa menghilang, mereka tak berumur panjang, jadi apa hebatnya
manusia?
Sebenarnya
ini bukan kali pertama aku ke dunia manusia. Dulu aku pernah kemari bersama
papa. Waktu umurku masih belum seabad. Namun sekarang rasanya berbeda. Mengapa?
Karena sekarang aku sudah boleh kemari sendiri. Jadi aku merasa lebih bebas
saja. Tak ada lagi yang melarangku, melakukan ini itu. Senangnya…..
Aku
turun ke dunia manusia merupa sebagai anak kecil umur 8 tahun. Saran mama. Katanya,
anak kecil lebih cepat di terima di kalangan manusia. Mungkin mereka
menganggapnya tidak berbahaya. Hmm, tidak berbahaya jika itu anak manusia. Kalau
aku bisa lain ceritanya. Tapi aku selalu ingat pesan mama untuk tetap jaga
sikap, jaga kelakuan karena manusia lebih mulia derajatnya di mata Tuhan. Baiklah…..
Matahari
menyembur panas, bagi manusia. Tapi buatku itu bukan masalah. Aku bisa kirim
kode agar awan-awan memayungiku. Senangnya…..
“ihh…lucu
banget”
“iya,
unyuuuu….”
Aku
jumpa gadis-gadis manusia yang langsung
saja lancang menjembreng pipiku. Sakit tahu. Jika saja tidak ingat nasehat
mama, sudah aku tendang keduanya.
Eh,
apa itu? Ada yang ramai di pojok situ. Lihat ah, siapa tahu ada hal yang
menarik. Perlahan aku eja huruf-huruf manusia yang tertulis besar-besar di
sana. A..U..DISI..KO..MEDI..CIL..IK. AUDISI KOMEDI CILIK. Ikut ah, eh tapi aku
kan tidak bisa melucu. Eh tapi kan wajahku lucu kata gadis manusia tadi. Baiklah.
Aku memberanikan diri.
“Adek,
orang tuanya mana”
Aku
menunjuk ke arah belakang. Aku berbohong. Kakak manusia yang mendaftar calon
peserta itu tertipu akan muslihatku. Setelah ditanya ini dan itu .Akupun lolos
jadi peserta nomor dua puluh satu. Menipu tidak masalah bukan? Asal aku masih
menjaga sikap, karena aku selalu ingat pesan mama, manusia lebih mulia
derajatnya di mata Tuhan oleh karenanya aku harus jaga kelakuan.
Lama
menunggu, akhirnya tibalah giliranku. Aku maju ke depan dan siap memulai
lawakan. Tapi, aduhh…aku mau melucu apa coba? Aku kan tidak bisa melakukannya. Aku
kan memang bukan anak-anak manusia seperti peserta sebelumnya, yang bisa
cekatan bikin lawakan. Aku coba tersenyum ke penonton. Manusia-manusia itu
tetap tak bereaksi, tetap terdiam mirip pohon nunggu di siram.
Oh,
iya di dunia manusia kan ada seni sulap. Yang mereka puja dan mereka banggakan.
Padahal di duniaku itukan hanya permainan “Hilang, Sembunyi dan Kembali.” Tapi pernah
aku dengar cerita, kalau mereka juga pernah tertawa jika melihatnya. Pakai sulap
aja kali ya. Tapi apa tidak melenceng dari tema? Mereka kan mencari komedian,
bukan seorang ahli sulapan. Ah biarlah.
Aku
mulai beraksi. Aku ambil topi peserta yang duduk di baris kiri. Abrakadabra,
hilang. Aku bertepuk tangan. Tak ada yang menyambung tepuk tanganku.
“Ah
ini mah tidak lucu, ini sulap.” Manusia yang duduk di deret belakang yang
berdiri mulai protes. Suaranya berlanjut ucapkan aku ini tak layak ikut kontes.
Salah alamat katanya. Padahal aku kan baru memulai. Karena dia telah berdiri,
maka aku minta dia datang kemari. Lalu aku
mulai bertanya.
“Bapak
maunya apa?” tanyaku sok polos ala anak manusia.
“Ya
yang lucu. Ini kan ajang mencari bakat komedian. Bukan mencari ahli sulapan.” Jawab
manusia itu.
“Bapak
maunya yang lucu. Kalau itu lucu tidak?” aku menunjuk ke tubuh bagian bawahnya
yang tinggal pakai kolor.
Dia
berusaha menutup bagian pribadinya. Dan penontonpun mulai tertawa. Asyik, sulap
lawakanku sudah mulai mengena. Aku tingggal melanjutkannya.
“Ayo,
siapa lagi yang kolornya mau menghilang.” Aku bertanya setengah menggoda.
Kali
ini penonton diam.
“Jika
tidak ada yang mau, aku pilih acak ya..”
Aku
mulai menjulurkan kedua tanganku sambil pura-pura merapal mantra….hemmm hong
wilaheng…..Menghilang!!
Kemeja
pembawa acarapun hilang. Penonton kembali tertawa. Saat aku berhasil
menghilangkan rambut seorang penonton, kembali tawapun pecah. Saat aku berhasil
membuat hilang kursi yang di duduki para
juri, dan membuat mereka terjengkang ke belakang, tawa penonton semakin
membuncah. Namun, ada satu yang menurutku tertawanya paling gila. Sepertinya ini
cocok jika jadi korban berikutnya.
Menghilang!!!....
Tawa
penonton semakin menjadi. Saat si manusia tertawa paling gila kehilangan gigi. Dan
lucunya dia masih ikut tertawa. Belum menyadari jika giginya hilang semua.
Wkakakaka….tak
kuasa aku menahan tawa. Bumi mulai berguncang. Panggung ikut bergoyang. Penonton
mulai panik. Mereka tak lagi pikir panjang. Mereka lari tunggang langgang. Tawakupun
terhenti. Aku terlambat menyadari jika aku sedang di bumi. Di duniaku, tawaku
mungkin terdengar biasa, tapi di sini bisa menjadi bencana. Aku langsung
terduduk ingat pesan mama. Perlahan, aku mulai menghilang.
Tuhan
maafkan aku, bukan maksudku seperti itu.Sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar