OMELET, NADA SUMBANG BIOLA DAN
RESITAL CANDA
Aku
hanya bisa menghela napas panjang saat rumah ini telah tersapa mentari. Tak perlu
jam weker untuk membangunkan seluruh penghuni. Cukup teriakan seorang nyonya di
pagi yang sepi. Tapi tak cuma dia rupanya. Yang hobi nyinyir di pagi buta. Si anak tunggal punya gemar yang sama. Teriak-teriak.
Aku hanya bisa mengelus dada.
Apa
sih yang di lakonkan keluarga ini pikirku. Berperang ego satu-satu. Bukan saja
si anak atau si ibu, bapak pun kadang begitu. Saling unggulkan ide pribadi. Tanpa
kompromi apalagi peduli. Yang penting aku, aku dan aku. Kamu? Itu urusan
pribadimu. Jika sudah begitu aku hanya bisa mengelus dada.
Atau,
sebuah keluarga artis memang begini. Di dalam ramai di luar sepi. Jika di dalam
rumah kau bagai hidup di pinggiran Gaza. Jika di luar harus terlihat sempurna. Indah,
tenang, aman, mempesona seperti kanal-kanal kota Venesia di Italia. Jika begitu
adanya, kasihan sekali mereka.
Namun
meski begitu, ada satu yang membuatku haru. Setiap pagi mereka tetap setia
menunggu. Hanya untuk sarapan omelet buatanku. Sebenarnya ini hanyalah omelet
biasa. Tanpa resep rahasia dan hanya terdiri dari bahan serta bumbu sederhana. Tapi
tak tahu mengapa, mereka amat suka. Atau mungkin karena aku membuatnya dengan
penuh cinta. Cinta seorang ibu kepada putrinya. Entahlah.
Pagi
ini seperti biasa, aku hanya bisa menghela napas panjang saat rumah ini telah
tersapa mentari. Teriakan si tuan putri kembali menyapa kami. Sebenarnya aku
sudah terjaga. Sebelum mata mereka semua terbuka. Tapi tak tahu mengapa, kali
ini tuan putri terlihat berbeda.
“Bi
Sum, nanti malam konser tunggalku di gelar. Aku ingin tak hanya pagi ini kamu
membuat omelet untukku. Nanti malam juga ya.” Ucapnya dengan nada setengah
berteriak.
“Baik
Non Canda.” Aku hanya bisa mengelus dada.
Aku
sudah tidak kaget lagi. Memang begitulah keseharian keluarga ini. Selalu bicara
dengan nada tinggi. Aku sama sekali tak menyesali mengapa aku berada di sini. Akupun
juga tidak menyesali mengapa dia berada di sini. Akupun juga tidak menyesali mengapa
aku memilih rumah ini. Aku hanya ingin melihatnya bahagia. Apalagi sekarang dia
telah meraih cita-citanya. Membuat konser tunggal pertamanya. Aku ikut bahagia
untuknya. Mungkin juga untukku. Kini aku hanya bisa siapkan bahan dan siapkan
bumbu. Untuk membuat omelet terbaikku. Bukankah ini hari istimewa untuknya. Jadi
aku akan membuatkan omelet yang istimewa pula.
Saat
mentari mulai meninggi, rumah ini kembali sepi. Semuanya telah pergi. Kupandangi
biola tua yang ada di atas meja. Si tuan putri memintaku membersihkannya
untuknya. Biola ini yang akan di gunakan dalam pertunjukannya nanti malam. Biolaku.
Biola yang mengantarnya datang ke rumah ini. Di malam itu, tujuh belas tahun
yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar