^^

Kamis, 06 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #7 #telurdadar


OMELET, NADA SUMBANG BIOLA DAN RESITAL CANDA

                Aku hanya bisa menghela napas panjang saat rumah ini telah tersapa mentari. Tak perlu jam weker untuk membangunkan seluruh penghuni. Cukup teriakan seorang nyonya di pagi yang sepi. Tapi tak cuma dia rupanya. Yang hobi nyinyir di pagi buta. Si anak tunggal punya gemar yang sama. Teriak-teriak. Aku hanya bisa mengelus dada.

                Apa sih yang di lakonkan keluarga ini pikirku. Berperang ego satu-satu. Bukan saja si anak atau si ibu, bapak pun kadang begitu. Saling unggulkan ide pribadi. Tanpa kompromi apalagi peduli. Yang penting aku, aku dan aku. Kamu? Itu urusan pribadimu. Jika sudah begitu aku hanya bisa mengelus dada.

                Atau, sebuah keluarga artis memang begini. Di dalam ramai di luar sepi. Jika di dalam rumah kau bagai hidup di pinggiran Gaza. Jika di luar harus terlihat sempurna. Indah, tenang, aman, mempesona seperti kanal-kanal kota Venesia di Italia. Jika begitu adanya, kasihan sekali mereka.

                Namun meski begitu, ada satu yang membuatku haru. Setiap pagi mereka tetap setia menunggu. Hanya untuk sarapan omelet buatanku. Sebenarnya ini hanyalah omelet biasa. Tanpa resep rahasia dan hanya terdiri dari bahan serta bumbu sederhana. Tapi tak tahu mengapa, mereka amat suka. Atau mungkin karena aku membuatnya dengan penuh cinta. Cinta seorang ibu kepada putrinya. Entahlah.

                Pagi ini seperti biasa, aku hanya bisa menghela napas panjang saat rumah ini telah tersapa mentari. Teriakan si tuan putri kembali menyapa kami. Sebenarnya aku sudah terjaga. Sebelum mata mereka semua terbuka. Tapi tak tahu mengapa, kali ini tuan putri terlihat berbeda.

                “Bi Sum, nanti malam konser tunggalku di gelar. Aku ingin tak hanya pagi ini kamu membuat omelet untukku. Nanti malam juga ya.” Ucapnya dengan nada setengah berteriak.

                “Baik Non Canda.” Aku hanya bisa mengelus dada.

                Aku sudah tidak kaget lagi. Memang begitulah keseharian keluarga ini. Selalu bicara dengan nada tinggi. Aku sama sekali tak menyesali mengapa aku berada di sini. Akupun juga tidak menyesali mengapa dia berada di sini. Akupun juga tidak menyesali mengapa aku memilih rumah ini. Aku hanya ingin melihatnya bahagia. Apalagi sekarang dia telah meraih cita-citanya. Membuat konser tunggal pertamanya. Aku ikut bahagia untuknya. Mungkin juga untukku. Kini aku hanya bisa siapkan bahan dan siapkan bumbu. Untuk membuat omelet terbaikku. Bukankah ini hari istimewa untuknya. Jadi aku akan membuatkan omelet yang istimewa pula.

                Saat mentari mulai meninggi, rumah ini kembali sepi. Semuanya telah pergi. Kupandangi biola tua yang ada di atas meja. Si tuan putri memintaku membersihkannya untuknya. Biola ini yang akan di gunakan dalam pertunjukannya nanti malam. Biolaku. Biola yang mengantarnya datang ke rumah ini. Di malam itu, tujuh belas tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar