^^

Selasa, 24 Januari 2012

SURABAYA : Seminar & Bedah Buku ASMA NADIA

UPDATE : Minggu, 29/01/2012
Halooo SURABAYA ^^

Datang yuk....

SEMINAR DAN BEDAH BUKU 
"SAKINAH BERSAMAMU"
Langsung bersama ASMA NADIA

Hari Minggu, 26 FEBRUARI 2012
Pukul 07.30 wib – 11.00 wib
Pena Room Graha Pena Lt. 02 Jl. A.Yani 88 Surabaya





Kontribusi Infaq:
Umum IDR 75.000 ( ..available.. )
Mahasiswa IDR 50.000 ( ..-sold out-.. )
Donatur Nurul Hayat IDR 50.000 ( ..available.. )
Melalui twitter @banggavann IDR 50.000 ( ..-sold out-.. )*

*(Mendapatkan buku best seller terbaru dari ASMA NADIA senilai IDR 55.000, Kartu Perdana Smart Fren dan Snack)

Tempat terbatas hanya untuk 200 peserta saja.
Jadi tunggu apalagi, daftar sekarang juga!!
Hubungi:
Twitter @banggavann untuk bertanya langsung
Atau kunjungi www.nurulhayat.org untuk daftar harga umum/normal ^^
Buruan keburu habis tiketnya. 
Terima kasih.
Semoga menjadi barokah. Amin...

Fully supported by Yayasan Nurul Hayat, Asma Nadia Publishing House, Smartfren and Bank Mandiri Syariah














Rabu, 18 Januari 2012

#15HariNgeblogFF #Hari07


SEPUCUK SURAT (BUKAN) DARIKU

                Marlina masih lemas duduk di sofa mewah di ruang tengah rumahnya. Surat di tangannya mulai basah oleh air matanya yang deras mengucur. Liana tak kalah hebat menangis, sementara Utari berdiri di depan jendela.

                “Benar kan Ma apa yang aku katakan. Mama sih yang terlalu memanjakan Papa. Mama itu harusnya curiga saat Papa merekrut sekretaris baru yang centil itu.” Utari bersuara.

                “Kalau rumah ini disita, kita kan tinggal di mana Ma?” tanya Liana, masih menangis.

                “Adik diam dulu deh, ini Mama sama Kakak nanti tambah jadi bingung.” Utari menghardik adiknya.

                “Mama kan tidak boleh curiga begitu Tari. Mama kan percaya sama Papa.”

                “Tapi kenyataannya sekarang apa Ma? Si sekretaris centil itu sekarang telah benar-benar berhasil merebut Papa.”               

                “Mama kan bukan orang curigaan. Selalu berprasangka baik kepada orang.”

                “Iya Ma. Tapi Mama kan seharusnya curiga kenapa Papa merekrut sekretaris baru waktu itu. Padahal sekretarisnya Papa sudah dua. Apa Mama tidak cemburu?”

                Marlina mengambil nafas dalam-dalam.

                “Mengapa harus cemburu. Kita kan harus professional anakku.”

              “Tapi kini kenyataannya. Untuk apa coba Papa hutang sebegitu besar kepada bank dan tidak membayarnya. Pasti untuk perempuan itu. Pantas saja sejak ada perempuan itu Papa jadi sering telat pulang. Papa jadi sering alasan kerja keluar kota, Harusnya Mama peka.”

                “Sudah diam kamu Tari. Mama ini lagi berfikir bagaimana Mama mendapatkan uang untuk membayar hutang.”

                Marlina melangkah menuju kamarnya. Menuju lemari besinya. Mengeluarkan pistol milik suaminya. Lalu membawanya keluar.

                Marlina lalu memasukkan pistolnya ke dalam tasnya.

                “Mama, untuk apa Mama bawa pistol segala.” Teriak Liana.
                “Mama pergi sebentar Utari, tolong jaga adikmu.”
                “Mama mau kemana? Mama mau apa?” Kali ini Utari yang terlihat panik.
                “Mama tahu apa yang harus Mama lakukan.”
                Marlina melangkah cepat meninggalkan dua anaknya. Kini hatinya benar-benar telah di bakar api cemburu yang membara. Cemburu yang terkumpul dan siap meledak.

                “Utari, simpan surat itu. Jangan sampai hilang.” Teriak Marlina dari dalam mobilnya.

                Brummm……
                Mama……
                Utari hanya bisa memeluk adiknya yang menangis semakin hebat.


Sketch belong to Eyerank on http://www.eyefetch.com/image.aspx?ID=427568

Senin, 16 Januari 2012

#15HariNgeblogFF #Hari05


JADILAH MILIKKU, MAU?

Aku bahagia di sini. Semuanya menyenangkan. Aku merasa nyaman. Semua peduli kepadaku. Semua memperhatikanku. Ini mungkin balasan dari semua kebaikan yang telah aku tanam. Aku di surga. Tempat ini penuh damai. Aku di manjakan oleh banyak bidadari. Semuanya cantik. Semuanya sayang aku. Namun ada satu yang paling aku suka. Tertawanya paling mempesona. Aku suka melihat wanita tertawa. Serasa hilang semua problema.

Oh iya, sampai lupa aku belum memperkenalkan diri. Namaku Guruh Rajasa. Seorang eksekutif muda yang tampan kata orang, sudah cukup mapan dan siap berkeluarga. Aku sudah ada calon. Namanya Jingga. Dia wanita yang cantik, pandai, perhatian dan pengertian. Aku benar-benar terpesona di buatnya. Aku terpukau oleh binar-binar aura yang di milikinya. Aku kesengsem.

Tapi itu dulu, sebelum si mantan pacar Jingga kembali dari Eropa. Saat lelaki yang ia panggil Raga itu datang, semua mendadak berubah begitu saja. Jingga mulai sering berbohong. Mulai sulit untuk aku temui. Dan wajar saja aku curiga. Karena sekarang telah ada Raga di antara kami berdua.

Benar saja, malam itu aku berniat datang ke apartemennya. Berniat untuk mengejutkannya. Berniat memintanya untuk menjadi milikku, untuk selamanya. Sengaja aku minta security apartemen untuk mengetukkan pintu apartemennya untukku. Niatnya sih, supaya dia melihat si security dulu sementara aku bersembunyi untuk muncul tiba-tiba. Mengejutkannya. Namun apa yang terjadi. Apa yang aku lihat sungguh menyayat hatiku. Pilu. Perih rasanya ketika melihat si Raga, ya mantan kekasih Jingga itu muncul dari balik pintu. Aku langsung emosi. Ku dorong pintu dan aku masuk ke dalam. Apa yang aku lihat tidaklah layak untuk kuceritakan. Cukup aku sendiri yang tahu. Dan merasakan betapa sakitnya hatiku malam itu.


Hari-hari terasa lambat bergerak untuk meninggalkan semuanya. Aku masih terperangkap antara benci dan cintaku kepada Jingga. Masih ingat kata-kata terakhirnya ketika bertemu denganku. “Maafkan aku Guntur, aku tidak bisa membohongi perasaan ini. Raga adalah cinta pertamaku. Dan ternyata kamu belum mampu menggantikannya di hatiku. Meski aku memaksa. Maaf.” Sakit rasanya mendengar kalimat itu. Ingin aku muntahkan caci dan maki kepadanya, saat itu juga. Namun, keterpenjaraan rasa cinta dan benciku padanya inilah yang mengurungkan semuanya. Aku masih mencintainya meski aku sangat membencinya.

Namun, semua telah berlalu. Tuhan masih menyayangiku. Kini aku aku mulai mendapatkan pengganti Jingga. Bidadari cantik yang satu ini selalu bisa membirukan hatiku. Aku mau denganmu. Maukah kamu menjadi milikku? Ah…senangnya.

………
“Bagaimana Dok, apakah Kakak saya bisa sembuh?”
“Bisa saja mas Guntur. Saya yakin bisa. Namun perlu waktu. Percayalah. Kami akan berusaha sekuat tenaga.”
“Saya minta tolong ya, Dok.”
“Pasti. Kami akan usahakan yang terbaik untuk Mas Guruh.”
Guntur menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia hanya bisa prihatin atas apa yang terjadi pada kakaknya. Di kejauhan, tampak Guruh menari-nari riang bersama suster-suster yang memang cantik layaknya bidadari.

Sabtu, 14 Januari 2012

#15HariNgeblogFF #Hari03


KAMU MANIS, KATAKU

Dulu pertama kali jatuh padamu, sejak itu pula aku belajar mentatto. Bukan tatto gambar naga atau hewan-hewan fantasi lainnya. Bukan pula tulisan-tulisan semacam Hakuna Matata yang terkenal itu. Pun, bukan motif tribal untuk tatto-tatto kebanyakan. Aku hanya belajar mentatto dua huruf. Ya, mentatto namamu di mana-mana. Di screen saver komputerku, dinding kamar, batang pohon, rerumputan di bawah jendela, sinar matahari sampai belukar awan yang tak terlalu tinggi. Tapi tidak di kulitku. Belum. 

Keisengan baru itu lalu berlanjut dengan penuhnya sudut-sudut notes kecilku yang bercampur dengan catatan kaku kuliahku. Berkelahilah puisi dengan tulisan asam-basa yang memuakkan dan mengusutkan otak. Berselisihan ia dengan istilah-istilah genetika dan kemungkinan mutasinya. Ha ha ha, menulis namamu saja sudah merupakan mutasi dalam gen itu sendiri. Bagaimana untaian double helix menjelaskan penyimpangan ini? Bisakah Holmes mengharapkan Watson untuk membantu mendeduksi teori kesalahan kode translasi dan transkripsi? Yang aku mau, bukan protein macam Timin-Pirimidin yang melingkar di double helix-ku. Yang aku mau namamulah yang ku tatto menjadi tegaknya sel-sel tempat ragaku berdiri. Memompa darah dari vena hingga ke ujung dada. Dari A milikku ke B di pembuluhmu. Membuatku berdesir bila mendengar gelombang suara baritonmu dari ujung handphone. Aku tergugu. Aku kaku rindu pada rasa yang tak kuakui padamu, dulu.

Hemm, dan saat sepi menguliti rindu, aku mulai sering mentattomu di air mataku. Mungkin kerinduan tak terbendung dan cinta dalam yang tak terkatakan. Seberapa dalamnya palungmu? Aku tidak pernah bisa mencapai dasarnya. Awalnya karena aku memang tak sanggup melakukan ritual berpisah. Tapi mungkin karena kau juga tak bisa berjauhan denganku. Air mata kita seperti darah yang terminumkan. Membuat mabuk dan meracunkan. Kita harus berperang mematikan kobaran perasaan perlahan-lahan. Memadamkan dengan air mata itu sendiri. Betapa hebatnya ternyata hati manusia seperti kita. Tahan guncangan walau belum tahu bagaimana belajar meredamnya. Tatto yang kupindai di otakkupun semakin memudar. Seperti penggalan kata yang kau ucap, “Jangan lupakan aku, tapi lupakan saja perasaan ini.” Aku memang tak akan melupakanmu. Bagaimana mungkin aku bisa? Karena kau adalah sebenarnya Tsunami cinta sesungguhku.

Dan sekarang, aku bicara tentang sekarang. Aku mulai malas mentattomu lagi. Mungkin semua sudah kembali mentah. Hanya kita berdua yang tahu alasannya mengapa. Aku memang tidak akan mentatto namamu lagi. Tapi dalam setiap petikan prosa dan puisi masih kaulah nyawa cerita yang paling kuat. Sekarang, aku hanya akan belajar bagaimana menjadi tegap, merekondisi jiwa yang nyaman terus-terusan dalam persimpangan. Menggiring kembali pikiran gila yang selalu mengajak lepas dari haluan. Saatnya kembali pulang ke akal sehat. Mungkin aku sudah terlalu banyak mencoreti ari-ari bumi dengan dua huruf namamu. Sampai aku tak mampu menghapusnya dengan tanganku, bajuku, atau peluhku. Aku takut terlalu jauh. Dan aku sudah tak ingin terlalu jauh.

         Namun hanya padamulah aku akan selalu bertanya. Saat dunia tak mengerti apa yang kita rasa, apa yang kita punya. Aku akan tetap menjadi orang yang tenggelam dalam ke-ambigu-an dan mungkin terus beranomali sampai kapanpun. Karena itulah aku. Kita lihat saja nanti di masa depan. Jangan lupakan juga aku, terima kasih sudah melupakan perasaan ini. Kini aku hanya ingin belajar menghapus tatto-tatto atas namamu dimana saja. Agar ia tak selalu menghantuiku.

Nama IO ada di sini
Di nadi 
Di hati
Di hari waktu IO menutup pintu mobil dan pergi
Karena itu aku tak suka lagi memanggilmu
Aku terlanjur suka nama IO-ku sendiri
            Walau kau tak lagi termiliki
            Kamu tetap manis untukku
            Selamanya
           
        Mario tergugu menggenggam dua lembar kertas itu. Display Cardiogram menunjukkan garis hijau lurus tanda tak ada lagi detak jantung di sana.  Restu telah pergi untuk selamanya. Selamanya.
        




(Thanks to my lilbro and your ambigu)
drawing belong to http://lynnechapman.blogspot.com

Jumat, 13 Januari 2012

#15HaringeblogFF #Hari02

DAG DIG DUG

Langit menghitam saat Nilam mulai menaburkan remah-remah kemenyan di atas bara api di depannya. Mulutnya komat-kamit mulai membaca mantra. Foto pria yang di pegangnya ia putar-putarkan di atas asap bara. Senyumnya mengembang. Entah apa yang ia pikirkan sekarang.

“Halo…” terdengar suara merdu di ujung telpon sana. Jantung Nilam selalu berdegup kencang saat suara bariton itu terdengar. Selalu terbata kala ia menjawab. Ah, Nilam. Padahal ini bukan yang pertama kali,kan?

Pandu Aji Santoro, begitu pria itu mengenalkan namanya ke Nilam kala pertama mereka bertemu. Nilam langsung terkesima saat mereka berjumpa. Matanya, cambangnya, suaranya, ah… Nilam jatuh cinta pada pandangan pertama.

Tapi itu dulu, saat Nilam masih terlalu lugu untuk menghadapi seorang Pandu. Kini cintanya tak lagi besar kepada pria itu. Ketika Nilam tahu siapa Pandu sebenarnya, emosinya menggelegak. Amarahnya memuncak. Ingin segera dia habisi nyawa pria yang dulu di cintainya itu. Namun ternyata Nilam masih terlalu lugu untuk menghabisi pria licik sekelas Pandu. Nilam butuh waktu. Nilam butuh strategi. Ya, strategi untuk kapan dan di mana pandu akan di habisi.

“Halo…” suara bariton itu masih terdengar memukau di telinga Nilam.
“Ada apa mas?”
“Mas ingin ketemu Adik.”
“Tidak takut ketahuan istri sama anak-anak Mas?”
“Mereka semua sedang liburan di luar kota. Makanya ini Mas hubungi adik. Mas rindu sekali sama adek Nilam. Rindu.”
“Pacar-pacar mas yang lain?”
“Ah, adik jangan percaya gossip. Itu bisa-bisanya mereka saja bicara. Ayolah Dik, mas rindu ingin bertemu. Sudah kepikiran kamu terus ini setiap hari. Ayolah. Ya…”
Nilam tersenyum. Pelet buluh perindunya manjur rupanya.
“Nanti malam ya.” Jawab Nilam.
Nilam kini tertawa. Waktu yang ia tunggu-tunggu telah datang rupanya.

Dag dig dug rasa jantung Nilam, ketika Pandu telah terlihat di matanya. Nilam masih tak mengerti mengapa rasa itu masih tetap ada meskipun Nilam kini sudah tak lagi cinta.
“Tidak lama nunggu kan sayang? Macet nih. Maafin Mas ya?”
Nilam tersenyum.
“Kamu cantik sekali malam ini.”
Nilam tersenyum.

Pandu duduk di depan Nilam. Berdua mereka bicara kesana-kemari. seperti biasa Pandu berbasa-basi hingga makanan pesanan mereka datang. Obrolan merekapun terhenti. Berdua mereka mulai menyantap makanan yang tersaji.

Akkkk......Pandu tercekat. Tenggorokaanya seperti ada yang mengikat. Kerongkongannya terasa terbakar. Busa-busa racun mulai membuih di mulutnya. Akkkk......

Nilam tersenyum puas. Seisi restoran gempar.

"Nikmati nafas terakhirmu Pandu, nikmatilah balasan sakit hati ibuku. Nikmatilah racun cinta dari anakmu."

Nilam kembali tersenyum. Dia menikmati kepuasan untuk menghabisi lelaki yang telah menyakitinya. Lelaki yang telah melukai hati ibunya. Lelaki yang telah membuatnya lahir ke dunia. 

Nilam Santoro tersenyum puas sekarang. Dendamnya telah terbalaskan.


Kamis, 12 Januari 2012

#15HariNgeblogFF #Hari01


HALO, SIAPA NAMAMU

Malam itu, di gudang sekolah.
Lidya sekuat tenaga memegang boneka batok kelapa yang terus bergetar hebat itu.
“Tolongin dong, Dini!” Ucapnya panik.
Boneka Nini Thowok itu mulai melemah.
“Oke, sekarang saatnya kita bertanya.” Ucap Andini.
“Halo, siapa nama kamu?”
Boneka itu mulai mengguratkan kapur di papan tulis kecil yang telah tersedia. Tulisan S-U-C-I tersusun kurang rapi namun jelas terbaca.
“Apakah kamu yang merasuki raga teman kami tadi siang.”
Boneka kembali menulis. YA.
“Kenapa?”
AKU BENCI KAMELIA. DIA YANG MEMBUNUHKU.
Lalu boneka bergetar hebat berputar tak terkendali. Andini dan Kamelia terhempas.

Siang hari. Saat sekolah usai.
“Lidya, lantas kenapa dia memilih Sasi untuk dia rasuki?”
“Aku juga tidak tahu. Tetapi kamu tahu tidak kalau Sasi itu anak dari Ibu Kamelia?”
“Apa? Darimana kamu tahu?”
“Mamaku yang memberi tahu. Aku ceritakan perihal ini ke mama. Dia lantas memberi tahu aku jika Sasi teman kita yang selalu kesurupan itu adalah anak Ibu Kamelia.”
“Lantas hubungannya?”
Belum sempat Lidya menjawab, seorang perempuan tiba-tiba telah ada di samping mereka.
Perempuan itu tersenyum.
“Anak-anak, bisa tolongin ibu untuk membawa barang-barang ini ke gudang belakang?” ucapnya kemudian.
“I..Iya Ibu Kamelia.” Jawab Lidya dan Andini kompak, tergagap.

Malam harinya. Di gudang belakang sekolah.
“Lidya, kamu yakin dengan ini semua.”
“Yakinlah. Kamu tidak mau kan Din, jika setiap hari anak itu kesurupan lalu menulari teman-teman kita yang lain. Kemudian pelajaran kita terganggu. Aku yakin, Ibu Kamelia ada hubungannya dengan ini semua.” Jawab Lidya panjang lebar seraya menyiapkan sesaji Boneka Nini Thowok

“Apa yang berhubungan denganku?”
Tiba-tiba, suara perempuan terdengar datang dari arah belakang mengagetkan Lidya dan Andini.
“IBU KAMELIA!!!!” keduanya terperanjat.
“Kalian berdua selalu ingin tahu, dan sekarang tampaknya kalian telah banyak tahu.” Ucap Kamelia geram.

Lidya dan Andini mundur saat kamelia mendekat ke arah mereka. Namun, tangan Kamelia tampak lebih cekatan untuk meraih leher Lidya. Lidya tercekik. Nafasnya mulai sengal. Lidya lemas ambruk ke lantai.
“Sekarang giliranmu!!”
Andini mundur hingga terpojok di sudut ruangan.
“Kamu tidak bisa lari, anak kurang ajar.”

Tiba-tiba….
Jlebbb….
Tonggak kayu patahan kaki sebuah bangku menembus punggung Kamelia. Darah mengucur deras dari tubuhnya. Badannya perlahan beringsut rebah bersimbah darah.
Andini terkejut mendapati Sasi telah tampak di depannya.
“SASI..!!” Pekiknya.
Sasi tampak tersenyum. Menunjukkan mulutnya yang penuh darah.
“Aku bukan Sasi.”
“Ka..kalau ka..kamu bukan Sasi, lantas kamu siapa?” Andini terbata-bata. Ketakutan.
“Namaku Suci. Ih..ih.ih…ih……..Nama kamu siapa?!”
Dhegg.




Painting belong to Sylvia Wishart - Cottage Interior c. 1968-72, oil on board, private collection © The Estate of Sylvia Wishart



Selasa, 10 Januari 2012

#BermainApi #02


LALU, ASTIARI PUN TERSENYUM

Siang. Panas. Di sebuah kafe outdoor di sebuah Mall.

“Akhirnya…” Rolland memeluk Astiari dengan mata berbinar.
“Kamu sih sibuk terus, show terus, keliling dunia terus.” Ucap Astiari sembari duduk.
“Harus dong, Asti. Mumpung masih muda.” Jawab Rolland kepada teman SMA nya itu.
“Apa kabar pacar kamu yang bule itu? Masih jalan sama dia, Land?” Tanya Asti selanjutnya.
“Sudah jangan membahas dia lagi, sudah lama putus kok. Sudah dapat ganti, baru sebulan.” Jawab Rolland.

“Oh, iya suami kamu apa kabar?” lanjut Rolland.
“Itu dia Land, sebulan ini tingkahnya jadi aneh. Sering pergi tanpa alasan. Banyak berbohong. Aku tahu. Empat tahun aku menjadi istrinya. Jadi aku hafal.” Jawab Asti detil.
“Sabar Asti, jangan-jangan suami kamu memang lagi sibuk-sibuknya.” Hibur Rolland.
“Semoga saja.” Jawab Asti tak yakin.

“Kalau pacar kamu yang sekarang bagaimana?” Asti mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Emm… dia baik, perhatian, udah lama kenal sih sejak aku putus sama Andrew. Tapi jadiannya baru sebulan ini.”
“Selamat ya, jadi sekarang tidak akan aku dengar lagi kamu curhat nangis bombay seperti kemarin-kemarin ya hahaha…” Asti tertawa.
Rolland ikut tertawa.

“Ngomong-ngomong dia asli Jakarta, Land?”
“Iya.”
“Kerja di mana?”
“Di Bank.”
“Sama dong dengan suamiku.” Asti kembali tertawa.

Handphone Astiari berbunyi menghentikan keriaan mereka sejenak.
“Iya Pa, Mama masih di Mall ketemu teman….Emm Ada apa Pa?...Halo….”
“Kenapa Asti?”
“Handphoneku mati. Habis Baterai.”
“Pakai punyaku nih, jangan-jangan penting.” Rolland menyodorkan handphonenya ke Astiari.
“Thanks ya….”

Nit..nit..nit… Astiari memencetkan angka-angka ke handphone touchscreen itu. Rangkaian angka telah terbentuk. Astiari menekan tombol “CALL”. Tulisan “My lovely” seketika muncul di layar handphone. Astiari terkesiap.

“Ada apa Asti?” Tanya Rolland spontan, melihat roman muka sahabatnya yang tampak kaget itu.
“Eh, tidak ada apa-apa kok. Emm.. kalau boleh tahu pacar kamu tadi kerja di bank apa ya Land?”
“Mandiri.” Jawab Rolland datar.

Glekk.
Mandiri??
Itu kan…..
“Kenapa Asti?”
“Oh, tidak apa-apa kok.”
Lalu, Astiari pun tersenyum.

(in the cafĂ© picture belong to kumi matsukawa, on Flickr )