^^

Kamis, 28 November 2013

#JATUHCINTA *01*

MENANGGUNG RINDU

Hei, kamu masih ingat bukan. Bahwa aku telah mengenalmu sejak setahun yang lalu. Ah, berbunga-bunga hatiku saat itu. Saat aku pertama jumpa denganmu. Tak mungkin aku bisa lupa. Bahkan, aku bisa mengingat setiap detilnya. Maafkan jika waktu itu aku terkesan ngebet. Terkesan murahan. Namun ini cintaku, cinta yang harus aku perjuangkan. Berjuang mendapatkanmu meski terkesan buru-buru. Habisnya, kamu terlalu diam untuk ukuran seorang jantan.

Lalu, kamu ingat bukan saat kita berdua berjalan membelah hujan. Berdua ikut mengalir berkawan banjir, beratap petir. Tak ada takut sedikitpun di hatiku kala itu. Karena ada kamu di sampingku. Memeluk, melindungiku. Tak kurasakan dinginnya angin malam yang menghujam kulit tubuhku, karena ada kamu di sebelahku, membagi hangat cintamu kepadaku.

Lalu, kamu ingat juga kan, saat kita nakal bersama. Menutup pintu kamar dan hanya kita berdua di sana. Kamu mulai nakal mencumbuku. Ajaibnya, aku menyambut cumbuanmu. Ya, karena aku cinta kamu. Bukan hanya sekedar nafsu. Hingga, huft…. Teman karibku mengacaukan semuanya. Dia teriakkan namaku sekeras-kerasnya. Hingga kita berdua kaget sejadinya. Dan, saat dia datang menghampiri, kamu sembunyi di dalam lemari. Sempit. Rasain! Kamu nakal, sih. Aku terpingkal saat itu. Melihat dirimu yang terlihat tersiksa begitu. Maafkan aku.

Dan, yang paling mengingatkanku adalah ketika aku di bekap demam berkepanjangan. Kamu bingung tidak karuan. Lucu melihat mimik panikmu kala itu. Gemes, ingin aku menggigit bibirmu. Dari ujung sana kamu bertanya, Adik bagaimana? Demamnya masih ada ya? Pusing tidak? Sudah makan? Sudah di minum obatnya? Ah, betapa bahagianya diriku. Memiliki kekasih hati yang selalu peduli sepertimu. Aku cinta kamu.

Kemudian, hari-hari pun berlalu. Semua terjadi begitu indahnya. Tak ada cela di antara kita. Semua berjalan manis. Awalnya aku curigai itu. Mengapa kamu terlalu baik padaku. Mengapa kamu selalu memanjakanku. Hingga pernah aku cemburu pada semua temanku. Di saat mereka cerita, tentang pertengkaran dengan pasangannya. Ada yang mencakar, ada yang mencaci, ada yang minggat, ada-ada saja. Aku ingin mencoba. Aku mau merasakannya. Bertengkar denganmu. Sekali saja maksudku. Tapi, tidak usahlah. Memang mungkin cerita cinta kita tercipta begini. Begitu indah penuh harmoni. Tak perlu caci atau maki. Aku ingin waktu berhenti di sini dan tak berputar lagi. Aku mau begitu. Karena aku bahagia bersamamu.

Hingga, benar hari ini genap tiga ratus enam puluh lima hari aku menjadi kekasihmu. Kamu katanya datang malam ini. Penerbangan terakhir. Tak sabar rasanya untuk segera meloncat ke pelukmu. Melepas rindu yang telah meraja di ubun-ubunku. Memelukmu seerat-eratnya. Tak akan lagi aku melepaskannya. Aku kapok kamu tinggal-tinggal. Ternyata jika kita merindu, waktu berjalan begitu lambat. Aku tidak kuat. Selalu memikirkanmu dan tak bisa menjumpai ragamu di sisiku adalah phobia yang aku derita. Aku takut akan hal itu.

Tapi ini bagaimana, sejam lamanya aku telah menunggu. Dari jadwal datangnya pesawatmu. Dan masih aku tak menemukan batang hidungmu. Dag dig dug, tak sabar aku menunggu. Sabar ya, begitu kata petugas bandara. Tak tahu apa mereka kalau aku ini sedang gulana. Aku gundah. Aku resah. Aku galau. Aku risau. Aku pusing, tujuh keliling. Memikirkanmu. Di mana kamu kekasihku.

Dua jam lamanya aku di sini menunggu. Dari jadwal datangnya pesawatmu. Tapi tak kunjung jua aku temukan wajah manismu. Ah, aku semakin gundah. Aku bertambah resah. Galauku meningkat. Risauku merapat. Kini aku tak hanya pusing. Aku sudah migraine. Di manakah dirimu sayangku.

Aku mulai berkeringat. Saat papan jadwal menyebutkan pesawatmu tak kunjung berangkat. Mondar mandir ke sana ke mari. Aku sudah seperti anak ayam kehilangan induknya. Aku bingung tiada tara. Aku takut kehilanganmu. Tuhan, tolong aku!

Aku sudah tak ingat apa yang telah aku perbuat. Aku tersadar di ruang medis bandara. Masih tidak ada kamu di sana. Orang-orang ini siapa? Asing semua. Istirahat dulu saja, tadi anda pingsan. Ucap salah satunya. Aku tak terlalu mendengar kalimat berikutnya yang keluar dari gadis manis itu. Aku sibuk mencarimu.

“Dorr!!”

Suara itu mengagetkanku. Suara kamu. Aku girang bukan kepalang. Segera aku melompat. Memelukmu kencang dan erat. Aku susur bibirmu dengan bibirku. Aku sudah tak peduli lagi di mana ini. Rinduku sudah tak mau di ajak menunggu.

“Eits… gak pake nangis.”

Aku tahan air mataku namun aku tak mampu. Aku terlalu lama menunggu menanggung rindu. Padahal baru tiga bulan katamu. Ternyata jika kita merindu, waktu berjalan begitu lambat. Aku tidak kuat. Peluk aku erat, Beib… jangan kau lepas.

Kulihat petugas medis bandara bergidik risih melihatku memelukmu. Seperti baru pertama kali bertemu dengan manusia seperti kita. Tapi apa peduliku. Aku sudah terlalu lama menunggu menanggung rindu. Rindu kepadamu. Yang kini telah lengkapi masa indahku bersamamu. Tepat setahun sejak pertama kita bertemu. Terima kasih untuk memberi  tiga ratus enam puluh lima hari terindah sepanjang hidupku, kekasihku. Aku cinta kamu. Peluk aku erat, Beib… jangan kau lepas.


sketch belong to s0ftit

Rabu, 20 Maret 2013

#BermainApi #04

DISAMBAR PETIR

                Muryati gundah tiada henti ketika di luar hujan semakin deras tertumpah. Hatinya cemas bukan kepalang mendapati jam dinding telah menunjukkan pukul lima sore lebih. Dia mondar-mandir gelisah di dalam gubuk reyotnya yang atapnya bocor di mana-mana.
                Kembali dia menatap ke luar jendela dan kembali nanar melihat hujan yang semakin deras mengamuk. Langit semakin gelap menghitam. Masih tak didapatinya sosok yang ia tunggu. Kemana gerangan Susanti, bocah ayu anak semata wayangnya.
                Hari ini Minggu. Susanti libur sekolah. Seperti biasa, di kala hari Minggu atau hari-hari libur lainnya tiba, Susanti selalu membantu Muryati, ibunya yang janda untuk berjualan gorengan. Apalagi sore ini akan ada pertandingan sepak bola antar kampung di lapangan desa. Susanti semakin bersemangat untuk membantu ibunya yang janda.
                Dengan senyum tersungging di bibir kecilnya, Susanti berjalan sambil berdendang membawa dagangan gorengan ke lapangan. Hatinya berbunga-bunga secerah mentari yang bersinar terang hari ini. Ia yakin dagangannya akan laris manis.
                Benar. Gorengan Susanti telah berubah menjadi lembaran-lembaran rupiah di genggamannya bahkan sebelum sepak bola antar kampung ini usai. Ia senang bukan kepalang. Dengan gembira segera ia berlari kembali ke rumahnya untuk segera menyampaikan kabar gembira ini kepada ibunya yang janda.
                Namun, baru beberapa meter ia berlari. Awan hitam datang bergulung-gulung menutup langit dan serta merta menumpahkan hujan yang maha dahsyat derasnya. Susanti berteduh di bawah pohon yang rindang.
                Sementara di rumah Muryati semakin gelisah. Jantungnya berdetak semakin kencang ketika suara halilintar bergemuruh, berlomba-lomba memekak memecah derap turunnya air hujan. Pikirannya semakin kacau. Kemana Susanti?
                Tiba-tiba, dari kejauhan tampak sesosok wanita mendekat ke arah rumahnya. Wanita itu berteriak kencang memanggil namanya. Suaranya beradu nyaring dengan deras hujan yang turun.
                “Mak Mur! Mbak Mur!”
                “Ada apa Sum? Kenapa kamu berteriak-teriak?” angsur Muryati ketika wanita itu telah samapi di gubuknya.
                “Anakmu mbak. Anakmu!” ucap Sum dengan histeris.
                “Kenapa dengan anakku? Kenapa dengan Susanti?” Muryati mulai menangis. Ia takut apa yang dipikirkannya terjadi.
                Segera Muryati bersama Sum bergegas membelah hujan untuk menuju ke tempat Susanti dikatakan berada. Muryati tak lagi menghiraukan derasnya air langit yang tumpah ini. Pikirannya hanya tertuju pada anaknya. Susanti.
                “Susanti!!” pekik Muryati ketika melihat tubuh anaknya telah gosong kaku tertutup daun pisang. Meraung-raung ia menangis. Suara tangisannya mampu mengalahkan gempita suara air hujan yang masih saja deras mengguyur bumi. Beberapa tetangga mencoba menenangkannya. Namun, Muryati malah menjadi. Ia menangis seraya tubuhnya berguling mengejang-kejang di tanah yang basah bercampur lumpur.
Kali ini tetangga-tetangganya mematung. Seolah tak kuasa bergerak melihat perempuan paruh baya itu menggelepar kejang-kejang di tanah sambil terus meneriakkan nama anaknya. Susanti. Kali ini tetangganya hanya mampu menemaninya dengan ikut berlinang airmata.
Entah apa yang Tuhan tulis untuk Muryati. Suami dan anak semata wayangnya di jemput malaikat maut berkendara petir. Tetapi Tuhan maha rencana. Pun, pengasih lagi penyayang. Muryati janda kini sebatang kara. Ditengah hujan ia merana. 

Sketch belong to laudatortemporisacti

Minggu, 10 Maret 2013

#BermainApi #03


MENGANTAR MAYA

                Perih terasa setiap kuulang adegan ini. Babak hidupku yang  selalu mengulang. Rutinitas menyakitkan yang selalu terampil mengiris hati ini tipis-tipis. Pedih.
                Kulihat dirinya perlahan menghias wajahnya dengan rona-rona. Menyapukan tipis kuas bulat menggembung itu ke muka pipinya. Lantas melaburkan gincu merah kepada bibirnya. Sebenarnya kamu tak perlu menambahkan ini itu. Kamu sudah cantik apa adanya di dalam mataku.
                Aku masih duduk terdiam memandang wajahnya yang perlahan berubah. Tertutup hias dunia yang kurasa malah menutup kecantikan abadinya. Dia masih saja mematut diri di depan cermin berbingkai kayu jati berwarna coklat itu. Seperti tak menghiraukankku.
                Entah berapa lama lagi aku harus menunggu. Menunggu dirinya untuk menjadi milikku. Menunggu waktu bersuci memeluk diriku. Mengembalikanku ke jalan yang benar, bersamanya.
                “Pram!”
                Aku tergagap dengan reflek kaki menginjak pedal rem dalam-dalam. Di depanku sudah berdiri sebuah gardu listrik dengan sombongnya. Jantungku berdegup sangat kencang. Lalu, kurasakan sebuah benda menghantam badanku.
                “Kamu mau bunuh diri ya?!” bentaknya seraya menarik tasnya dari badanku.
                “Maaf May.”
                “Maaf! Maaf!, kalau sampai nabrak kita bisa mati tahu!” hardiknya.
                “Maaf tuan putri, aku sedang kurang enak badan ini.”
                “Kalau nyetir jangan melamun dong. Lagian, kamu ngelamunin apa sih?”
                Aku menggeleng. Dia masih tampak kesal.  
                Kembali kulajukan mobil ini ke tempat tujuan. Kepalaku serasa pecah. Mengapa aku kembali melakukan ini.
                Maya segera turun begitu mobil ini berhenti.
                “Ingat ya Pram, hubungan kita hanya sebatas artis dan manager. Tidak lebih. Jangan hanya karena aku mau bercinta denganmu lalu otomatis aku menjadi pacar kamu. Lagi pula kamu kan yang membawaku ke tempat seperti ini. Terima sajalah kalau kamu itu masih seorang mucikari. Jadi tidak usah sok suci.”
                Kulihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ada perih yang tampak jelas tergambar di matanya. Perih yang aku sebabkan. Luka yang aku buat ketika pertama kali aku memperkenalkan duniaku kepadanya.
                Dari jauh, kulihat Maya telah duduk di depan pelanggannya. Seorang pria paruh baya yang menjadi langganan Maya. Aku yang memperkenalkan dia kepadanya. Perkenalan yang membuatku menyesal hingga kini.
                Tuhan, bisakah aku berhenti?

sketch belong to : leadhead60

Rabu, 16 Januari 2013

#13HariNgeblogFF #Part2 #04


CUTI SAKIT HATI
Bosan ah makan hati mulu. Aku capek. Aku lelah membenci. Aku ingin berhenti membenci barang sehari. Bisa?
Seperti biasa hari ini aku menyiapkan keperluannya berangkat bekerja. Sarapan pagi yang menggugah selera, kemeja dasi yang tersusun rapi, tas kantornya yang sudah rapat terkunci. Apalagi? Tinggal menunggunya keluar dari kamar mandi. Lama sekali.
Sudah tujuh bulanan ini suamiku begitu. Berlama-lama ketika mandi, ngapain aja aku tak tahu. Dulu. Sekarang aku sudah tahu jawabnya. Ternyata dia punya kebiasaan asyik bertelpon ria. Telpon perempuan.
Sakit hatiku saat tahu dia selingkuh. Apalagi perempuan itu tak lebih cantik dariku. Memendam luka terasa sesak di dada. Perih mengiris tiap sudut jiwaku. Setiap hari, setiap jam, menit, detik tujuh bulan terakhirku laksana silet yang rajin menguliti kulitku lembar perlembar. Perih.
Perih ketika dia berdusta setiap waktu. Supaya bisa bertemu dengan si perempuan penggangu. Pernah suatu kali aku ikuti kemana ia pergi. Katanya meeting. Meeting kepalamu! Lekat dalam ingatanku waktu itu. Sebuah kalung emas mewah menjuntai indah keluar dari saku jasnya. Berpindah dengan manisnya ke sebuah leher yang jika boleh aku dengan senang hati akan menggoroknya. Perih.
Lalu suatu kali, ia ijin keluar kota. Cukup lama. Semingguan. Katanya urusan pekerjaan. Bah! Sakit hatiku. Sakit. Tujuh bulan lamanya luka ini menganga dan entah kapan akan tersembuhkan.
“Sudah selesai mas mandinya. Aku tunggu di meja makan.”
Suamiku yang tampan keluar kamar dengan gagahnya. Ah, andai dia tak menyakiti hatiku, aku ingin bahagia bersamanya selamanya. Tapi, mungkin kenyataan tak seindah impian. Sudah tujuh bulanan hatiku perih tak tertahankan. Aku duduk di depannya melihatnya makan. Air mataku mulai berlinang.
“Loh, sayang kenapa nangis?!”
Ia menghampiriku.
“Aku ingin cuti mas.”
“Cuti apa? Kamu kan tidak bekerja.”
“Aku ingin cuti dari sakit hati.”
Suamiku tertawa mendengar jawabanku. Ini mungkin menjadi tawa terakhirnya. Perlahan tawa itu berubah menjadi kejang. Ia merintih dan mengaduh tanpa henti. Ia menggelepar bagai cacing kepanasan. Mulutnya mengeluarkan busa. Darah menyusul setelahnya.



sketch belong to 123rf