^^

Jumat, 26 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D10


CUKUP DOA SECUKUPNYA

Aku terdiam. Mendengar ceritanya kata perkata. Meski aku tidak setuju dengan apa yang dia ucapkan namun apa boleh buat. Aku hanya seorang anak yang harus mematuhi ibunya. Emm… ibu tiri tepatnya. Meski sebenarnya dia masih sedarah denganku. Dia kakak ibuku.
Tetapi kali ini permintaannya keterlaluan. Mana bisa aku membunuh suamiku sendiri. Dasar PKI. Iblis. Hanya karena iming-iming cukong busuk makelar tanah itu aku harus membunuh suamiku. Begitu. Perempuan gila. 
Gusti jagat dewa batara, apa yang harus aku lakukan. Bagaimana aku bisa memilih jika pilihannya adalah suami dan anakku. Aku tak mungkin mampu hidup tanpa keduanya.
“Bagaimana, Nduk? Kamu bisa kan melakukan ini. Demi keluarga. Demi trah keluarga kita. Atau, terpaksa aku membunuh anakmu sebagai gantinya.”
Aku masih terdiam. Suara gagak yang bertengger di gerbang pura merongok-rongok menambah pilu hatiku. Adakah pilihan lain, Gusti. Mengapa aku terlahir dalam keluarga seperti ini. Lebih baik aku mati. Atau… dia yang mati.
Aku kembali melihat belati perak yang sudah kugenggam sedari tadi. Kulihat ibuku kembali menebar kemenyan di atas pedupaan membuat aroma wangi menyeruak bergolak. Gusti, jika benar aku membunuhnya, apakah aku menjadi anak durhaka. Tetapi ini demi keluargaku bukan. Aku harus melindungi suami dan anak-anakku.
“Apa yang kamu pikirkan lagi? Apakah kamu tidak mencintai keluargamu?!”
“Tapi, Bu. Apakah tidak bisa diganti dengan orang lain?”
“Tidak bisa!”
Baiklah jika begitu, aku memang harus membunuhmu. Maaf ibu.
Akkgg…...
“Anak bodoh! Bodoh kamu, Andini! Bodoh kamu!!”
Dia meludahiku entah berapa kali. Aku menutup mata.
Kejadiannya begitu cepat. Semoga anak-anakku nanti selamat. Suamiku harap kamu berhati-hati. Sekarang kamu sendiri karena aku harus pergi.
Kurasakan belati itu ditarik dari jantungku. Perempuan laknat itu kembali meludahiku. Aku sudah tidak peduli dengan diriku. Aku hanya mengkhawatirkan keluargaku. Nak, besok jangan pernah menangisi mayat atapun kuburanku. Cukup beri ibu doa secukupnya. Mungkin besok ibu akan berbahagia dengan Sang Kuasa.
Samar kulihat ibuku berlalu meninggalkanku. Perempuan biadab, suatu hari belati itu pula yang akan merenggut nyawamu. Ucapku lirih, sesaat sebelum napas benar-benar terhenti. Kudengar gagag-gagak kembali merongok. Semakin keras.

Painting belong to Margaret Bowland

Kamis, 25 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D9


DAHLIA

“Kami sudah mau tutup, Non.”

Sapa penjaga toko bunga ini ketika aku baru akan memilih bunga-bunga dagangannya. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Sepertinya dia tidak sadar bahwa maut telah mengintainya. Dia belum tahu siapa aku sebenarnya.
“Mana temanmu yang satu lagi?”
“Oh, dia kakakku. Pemilik toko bunga ini. Dia sudah pulang duluan. Ada apa ya, Non?”
“Oh tidak ada apa-apa kok.”
“Kita sekarang tutup lebih awal. Sejak G tiga puluh S kemarin, toko kami menjadi sepi. Kami maklum sih, banyak orang-orang yang takut keluar rumah. Apalagi banyak jemputan-jemputan misterius itu. Banyak yang dieksekusi dengan tuduhan terlibat gerakan palu arit itu.”
Urainya panjang lebar. Aku pura-pura saja menyimaknya.
Ndak laki-laki, ndak perempuan pokoknya yang di jemput pasti mati. Atau malah ada yang dibunuh di tempat. Di rumah mereka sendiri. Ngeri banget. Negara macam apa ini. Pemimpinnya kok malah menyebar teror.”
Lanjutnya kemudian. Aku masih memasang senyum dan masih berpura-pura untuk tertarik dengan ceritanya. Aku terus mengamatinya yang sedang berkemas-kemas sembari melihat kondisi luar toko untuk memastikan bahwa tidak akan ada seorangpun yang melihat ketika aku mengeksekusinya.
Sebetulnya jika dilihat lama-lama, pemuda ini tampak begitu manis. Lebih tampan dari sang kakak. Rahangnya yang keras membuat kelelakiannya menjadi jauh mempesona. Namun sayang sekali napasnya harus berhenti pada malam ini. Aku hanya melaksanakan tugas. Apa boleh buat.
Kulihat-lihat lagi belati-belatiku yang mengkilat-kilat mengintip dari dalam tas tanganku. Sabar ya sayang.
Dheng…
Jam lemari antik yang berdiri tegak di sudut toko ini berdentang sembilan kali. Kondisi benar-benar sepi. Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk membuatnya mati. Kugenggam kuat-kuat belatiku. Aku mengambil posisi yang tepat untuk membunuhnya. Ini tidak main-main. Aku harus melaksanakannya dengan rapi. Satu tikaman dan dia harus mati.
Dan…
Tiba-tiba…
Kudengar derap kaki bergerak cepat mendekat. Aku langsung beringsut refleks sembunyi di balik vas-vas kosong ini. Aku dengar suara pemuda itu meronta.
“Benar ‘kan, Ndan. Ini Dahlia lima belas?”
“Benar, ciri-cirinya juga sama.”
“Kita bawa je markas atau…”
“Sudah lakukan saja di sini.”
Crass…
Ada sesuatu menggelinding yang tertangkap oleh mataku. Lalu kulihat seseorang tinggi tegap itu memungutnya. Benda itu menetes-neteskan darah. Aku hanya terdiam dan mengambil napas dalam-dalam. Huft… aku terlambat. Ternyata dia juga menjadi target jemputan rupanya. Tahu begitu aku akan menyudahinya kemarin lusa.
Gerombolan itu telah pergi. Meninggalkan toko bunga ini bersama sepi. Aku melangkah keluar. Jalan Dahlia ini telah benar-benar jauh dari bingar. Apa boleh buat.

Drawing belong to Ten Paces And Draw

Rabu, 24 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D8


MEMILIH PUTIH

Entah sejak kapan aku suka dengan semua yang berwarna putih. Salah. Aku tidak lagi suka. Aku lebih dari itu. Aku terobsesi. Aku tergila-gila dengan semua yang berwarna putih. Bahkan, aku rela membayar mahal dokter cabul yang berpraktek di ujung gang agar gigiku putih mengkilat. Lalu aku tak segan untuk setiap hari cerewet kepada pembantu-pembantuku agar semua benda-benda putihku tetaplah bersih, terbebas dari debu.
Lain diriku lain pula kakak perempuanku. Kakak semata wayangku ini menyukai warna ungu. Warna yang menurutku sendu, kuyu, tanpa semangat. Hanya muram dan kesedihan yang menaunginya. Aku tidak suka. Sama tidak sukaku kepada kakakku. Apalagi nenekku lebih sayang kepada kakakku. Namun apa boleh buat. Tradisi masih mengikat agar yang muda lebih hormat kepada yang lebih tua. Harus nurut, patuh dan tidak melawan. Sebagai anak yang sopan, semua aku laksanakan.
Suatu hari, kami berdua di panggil nenek ke ruang tengah. Adakah gerangan serius yang membuat nenek memanggil kami di tengah butanya pagi. Mata kami mengerjap-kerjap melawan kantuk. Gigi bergemerutuk menahan dingin pagi. Badanpun menggigil.
Nenek sudah duduk manis di kursi malasnya menunggu datangnya kami berdua. Kami duduk di depan nenek dengan masih memaksa mata untuk membuka. Sesekali dua kali aku menguap. Nenek cerita panjang lebar dan aku tidak bisa begitu serius mendengar. Aku masih ngantuk.
Hingga, nenek mengeluarkan sebuah kotak kayu besar dan membukanya. Mataku langsung membelalak melihat kilatan benda putih yang langsung memikat hatiku. Tiga buah belati perak ini seperti tersenyum kepadaku. Aku langsung jatuh cinta. Tak tahan aku ingin menjamahnya.
“Tunggu sebentar, hati-hati dengan benda ini. Benda-benda inilah yang bisa membunuh kalian.” Ucap nenekku.
“Maksud nenek?” Kakakku antusias bertanya.
“Tiga belati Brutus dan sebuah keris Kencana Wungu ini jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kalian putri-putri Madangkara yang tercipta abadi akan mati jika tergores benda-benda sakti ini.” Urai nenek panjang lebar.
Lalu meminta kami untuk memilih. Jelas aku memilih belati-belati itu. Warna putih peraknya yang mengkilat langsung menawan hatiku. Kakakpun suka dengan pusaka kerisnya. Bilah keris bertahta batu-batu kecubung ungu itu begitu memukau matanya.
“Nenek, boleh aku bertanya? Darimana asal belati-belati ini?”
“Kamu tidak perlu tahu. Yang pasti, jangan sampai terluka oleh benda-benda pusaka itu. Karena hanya benda-benda inilah yang bisa melukai kita, keturunan Madangkara.”
Kami berdua manggut-manggut.
“Kenapa tidak kita musnahkan saja benda-benda ini, Nek?” kata kakakku.
“Susah, untuk memusnahkan kesaktiannya benda-benda ini minta tumbal. Darah dan nyawa lelaki Pengging.”
“Ya kita cari, Nek.” Ucapku.
“Tidak segampang itu. Apalagi benda-benda ini akan bertambah sakti jika berhasil membunuh trah kita. Akan semakin sulit untuk di musnahkan. Namun yang pasti, selain mengancam nyawa kita, benda-benda ini juga sangat berguna. Karena pusaka-pusaka ini membuat pemiliknya bertambah kuat dan hebat.”
“Begitu ya, Nek.”
Aku berdiri dan bermain-main dengan belati perak ini. Aku mengayun-ayunkannya. Dan,...
Jleb!
Belati itu menancap tepat di jantung nenekku. Nenek mati seketika tanpa berucap sepatah katapun. Aku tersenyum. Kakakku diam terkagetkan.
Kini, kekuatan nenek telah di serap belati ini. Dan belati ini telah menjadi milikku. Aku pasti bertambah sakti sekarang.

Painting belong to Whidbey Island Sketchers

Selasa, 23 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D7


TATAP MATA EKSEKUTIF MUDA

Bahagia itu sederhana. Bagiku, menyelesaikan pekerjaan dengan baik lalu pulang tanpa ada pekerjaan yang tertinggal, kemudian suasana taman kota yang tak begitu ramai dengan segelas teh panas kedai kopi depan kantor yang ada di genggamanku saja sudah cukup membuatku bahagia.
Dan, ketika kudapati seorang pria tampan, tinggi tegap yang seminggu terakhir ini selalu terlihat ada di taman tempatku biasa melepas lelah seusai ngantor, bahagia itu bertambah rasanya. Entah apa yang aku rasakan. Aku juga tak begitu mengerti Apa yang sedang terjadi padaku. Aku tak tahu pasti.
Dan, ketika dua hari ini tak lagi kudapati pria itu duduk di kursi taman tempat ia biasa berada, hatiku mulai resah. Aku gelisah melihat ke kanan ke kiri. Tapi tetap tidak aku dapati sosok si pria tinggi tegap itu. Duh.
Dan, ini sudah hampir seminggu aku tak melihat pria itu. Kenapa hatiku menjadi gusar. Aku yakin sekali pria itulah orangnya. Kemana dia.
“Hey!”
Seseorang menepuk punggungku dari belakang.
“Masih menunggunya ya. Tidak usah menunggunya lagi. Dia sudah mati.”
“Maksud mbak?”
“Iya dia sudah mati. Aku membunuhnya. Lagipula bukan dia orang yang kita cari.”
“Masa sih? Padahal aku yakin sekali dialah orangnya. Sorot matanya yang seperti elang itu yang membuatku yakin.”
“Tapi kenyataannya bukan. Belati ini tetap utuh saat darahnya menyatu di badan belati sialan ini.”
“Susah juga ternyata ya mbak. Mencari orang keturunan Mas Karebet.”
“Betul dik, dan kita harus cepat menemukannya. Sebelum waktunya habis. Belati ini harus kita musnahkan supaya tidak ada lagi yang bisa melukai atau membunuh kita.”
“Iya mbak. Lalu kemana lagi kita harus mencari pria keturunan Karebet itu? Instingmu masih berkata dia ada di sini?”
“Ya. Itu ada pria tampan satu lagi. Siapa tahu eksekutif muda itu yang kita cari.”
“Baiklah.”
Aku mulai membaca mantra. 

Painting belomg to mikisportraits

Senin, 22 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D6

SEKARANG ATAU 19 TAHUN LAGI
Kota tua ini masih tetap sama untukku. Begitu tenang dan mendamaikan. Aku tak peduli lagi dengan apa yang menjadi kewajibanku. Aku sudah lelah sebenarnya. Selalu saja harus mematuhi perintahnya. Kodrat yang harus aku lakukan sepanjang hidupku. Yang entah kapan akan berhenti.
Kulihat dari jauh, tampak pemuda itu telah duduk manis di kursi taman tempat kami terbiasa bertemu di sini. Ia juga masih sama bagiku. Begitu tenang dan mendamaikan.
“Hai, apa kabar.” Tanyanya malu-malu.
“Baik.” Aku menjawab singkat.
Dasar anak manusia, tampak malu hanya pada awalnya. Namun setelahnya begitu terlihat bersemangat. Namun, aku padamu begitu memuja. Entah apakah ini yang disebut cinta. Aku begitu hanyut kepadamu. Suara merdumu menggetarkan hatiku. Tak pernah aku merasakan sebelumnya. Apakah benar ini yang disebut cinta.
Dingin malam kota tua ini seolah merestui pendar-pendar sejuk hawa cinta yang keluar. Kamu merapatkan tubuhmu kepadaku. Aku tak bergerak. Pun ketika bibirmu menyentuh bibirku. Aku tak bergerak. Entah apa yang terjadi. Aku merasakan nikmat begitu hebat.
Penguasa langit, begitu sempurnakah Kamu menciptakan seorang manusia. Mengapa ia tercipta begini hebatnya. Sanggup memberiku gambaran arti sebuah cinta.
Aku bertanya kepada langit, namun suara itu yang menjawab.
Aku katakan tidak. Tidak. Tidak akan.
Malam begitu cepat merayap. Pemuda ini memintaku untuk pulang ke rumah. Tak baik katanya, seorang perawan malam-malam masih kelayapan. Oh, begitu sopannya dia. Membuatku semakin jatuh cinta. Dia pamit dan pergi setelah berjanji akan bertemu lagi. Di sini. Di kursi taman kota tua ini.
“Rara, kenapa kamu tidak membunuhnya sekarang?”
Suara itu kembali mengiang. Aku tidak bisa, jawabku.
“Apakah kamu ingin menunggu sembilan belas tahun lagi, Purnama Karebet ini tidak terjadi setiap tahun. Dasar anak bodoh, kejar dan bunuh dia.”
Aku tidak menjawabnya. Aku terus bernyanyi. Mana mungkin aku bisa membunuh orang yang aku cintai.
“Rara, hanya dia keturunan Pengging yang bisa kita temukan.”
Suara itu kembali terdengar. Aku tetap tidak peduli. Lagipula, harus ada alasan untuk aku bisa membunuhnya. Sementara dia adalah pemuda berbudi pekerti yang terpuji. Bagaimana bisa aku melakukannya. Aku kembali memasukkan belati tuaku ke sarungnya. Lalu berlalu bersama hembus dingan angin kota tua. Berharap bertemu dia sekali lagi. Di sini. Nanti.
 Painting belong to Richard Sheppard

#15HariNgeblogFFDadakan #D5

KENANGAN SELASA SORE
Selasa hari ini tetaplah sama. Yang membedakan hanyalah selasa kali ini berhujan terlalu deras. Bahkan berangin. Namun deru angin itu tidaklah mampu menutup teriakan-teriakan yang selama ini aku panggil ayah. Teriakannya kepada Ibu terlalu keras. Mungkin tetangga sebelah bisa mendengarnya.
Sudah sejam lebih Ayah membentak-bentak ibu. Entah apa yang mereka pertengkarkan. Aku tidak begitu jelas mendengar. Hanya teriakan dan teriakan ayah yang menggema. Masuk ke kamarku menyusup di antara celah-celah dinding kamar. Ketika tangis ibu pecah, aku beranikan mengintip dari lubang kursi apa yang sebenarnya telah terjadi di luar.
Ibu terlihat bersimpuh di lantai, sementara ayah masih berdiri tegak. Berkacak pinggang dan sesekali meludah ke arah ibu. Ibu hanya menangis. Sepertinya amarah ayah belumlah reda. Ia menarik ibu berdiri lalu membantingnya ke sofa dan menamparnya berkali-kali. Tak tahan, ku kerahkan semua keberanianku untuk keluar dan membantu ibu semampuku. Tapi ternyata aku terlalu kecil di banding ayah. Ketika aku mulai memukulinya, ia segera menghempaskanku hanya dengan satu tangannya. Aku terlempar jauh. Ibu berteriak sejadi-jadinya. Tampak ia seperti akan menghampiriku, namun ayah kembali menariknya. Dan lagi, menamparnya berkali-kali.
Aku sudah tak tahan lagi melihat ibuku yang tampak begitu tersiksa. Aku pergi ke gudang, mencari kotak antik itu dan mengambil isinya.
Dan…
“Akkhh…!!”
Ayah memekik. Lalu tersungkur tanpa sekalipun berkata lagi. Darah mulai meluber. Belati di tanganku jatuh menggerincing di lantai.
Ibuku hanya diam terpana. Lalu mulai menangis lagi.
“Apa yang telah kamu lakukan, Nak.” Ucapnya.
Aku hanya bisa terduduk lesu ketika pintu terbuka.
Adikku langsung menghambur ke mayat ayah. Tangisnya tak terhentikan.
Sore itu, rumahku bagaikan neraka. Teriakan dan tangisan saling beradu. Entah apakah tetangga sebelah mendengar. Hanya angin kencang dan hujan deras menderu ini yang tahu.
 Drawing belong to Deb Adams Art

Sabtu, 20 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D4


BIYAN ATAU BIANCA

          “Ini saja, Misteri Pembunuhan Biyan dan Bianca.”
          “What?! Buku apa sih itu, Yang. Serem gitu. Siapa yang ngarang sih.”
          Pemuda itu tertawa mendengar reaksi dari kekasihnya.
“Ini kan cuma fiksi, Sayang.”
“Iya, fiksi. Tapi ‘kan serem. Kok bisa sih judulnya begitu. Nyebut-nyebut namaku dan Bianca.”
Pemuda itu kembali tertawa.
Sepasang muda-mudi itu terlihat asyik bercengkrama. Mereka tertawa-tawa tanpa menyadari bahwa dari sudut lorong rak buku sebelah mereka, dua pasang mata mengawasi.
“Jadi, siapa yang harus aku singkirkan, Mbak. Dia itu Biyan atau Bianca.”
“Aku tidak peduli, Dik. Yang pasti, setiap perempuan yang mencoba mendekati Raka harus mati. Hanya aku yang boleh memilikinya.”
“Iya aku ngerti. Tapi aku kan harus tahu. Siapa gadis itu. Biyan atau Bianca. Ah, wajah mereka terlalu mirip. Dasar kembar sialan.”
“Ah, sudahlah. Adik coba dulu saja.”
“Sekarang? Di sini? Di toko buku ini? Mbak becanda deh.”
“Ayolah, Dik. Coba saja. Aku ingin dia cepat mati.”
“Baiklah jika begitu keinginannmu, Mbak."
Kemudian, gadis yang dipanggil adik oleh gadis satunya itu mengeluarkan kertas. Melipat-lipatnya membentuk serupa manusia. Lalu matanya terpejam. Entah apa yang akan ia lakukan.
Sementara itu, di sudut lain toko buku ini, seorang pemuda dengan belati di tangannya juga sedang mengamati Raka dengan gadisnya. Sorot matanya tampak begitu membenci sepasang anak manusia itu.
“Pokoknya, Raka tidak boleh bahagia. Enak saja.” Gumam pemuda berbelati itu.
Dia terus mengawasi Raka dan gadisnya sambil berpura-pura memilih-milih buku yang tersusun rapi di rak-rak buku kayu itu.
Raka dan kekasihnya masih saja bercanda dan tertawa. Hingga di depan kasir, tiba-tiba hidung gadisnya mengeluarkan darah.
“Loh, sayang mimisan.”
Raka segera mengambil sapu tangannya dan berusaha membersihkan darah itu. Namun kemudian tubuh sang gadis kejang-kejang. Darah semakin deras mengalir dari hidungnya. Kemudian dari mulutnya. Toko buku itupun geger.
Dua pasang mata melihat kejadian itu dengan wajah sumringah. Satu diantaranya malah terlihat begitu menikmati. Mereka tersenyum kemudian meninggalkan toko buku itu dengan raut muka bahagia.
Sementara, Pemuda berbelati melihat kejadian itu dengan terheran-heran.
“Wow, ternyata Tuhan berpihak padaku. Baguslah.” Pemuda itupun tersenyum.
Toko buku semakin gaduh.

Sketch belong to Wayne B. Medina

Kamis, 18 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D3


MENARI DI AKHIR FEBRUARI

Gerimis menari-nari di tengah terik hari kabisat ini. Seorang gadis cantik duduk manis di meja pinggir sebuah kafe. Matanya menerawang kosong menembus dinding kaca di depannya. Tampak sekali hatinya resah terlihat dari wajahnya yang gelisah.
Seorang pemuda turun dari sebuah taxi dan bergegas berlari ke dalam kafe. Matanya menyapu seluruh isi ruangan dan berhenti di meja pinggir dinding kaca. Tempat sang gadis duduk manis.
“Maaf aku terlambat. Hujan.”
Sang gadis tersenyum.
“Ada apa sayang, kamu kok menangis?”
Sang gadis menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Pemuda itu menggeser kursinya merapat kepada sang gadis, kekasihnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
“Raka, aku minta putus. Kita sudahi hubungan ini.”
Sang pemuda terkejut.
“Putus? Maksud kamu apa?”
“Ya kita putus. Selesai.”
“Alasannya? Hubungan kita baik-baik saja bukan?”
“Justru itu, hubungan kita terlalu baik. Flat. Membosankan. Boring, Ka.”
Flat? Lantas hubungan seperti apa yang kamu inginkan, Ayu?”
“Aku ingin kita putus.”
“Aku tidak mau. Sampai kamu memberi alasan yang masuk akal.”
“Aku sudah bosan dengan kamu, Raka. Aku sudah tidak mencintai kamu lagi seperti saat pertama kita bertemu.” Suara Ayu, sang gadis itu mulai meninggi.
“Ok. Entah apa yang membuatmu bisa berkata seperti itu aku tidak tahu. Tapi yang pasti, kamu bukan seperti Ayu kekasihku. Sekarang aku akan pergi. Aku minta kamu menenangkan diri. Dan setelah pikiran kamu juernih, Ayu kekasihku telah kembali, kita bertemu lagi untuk membahas ini semua.” Ucap pemuda itu panjang lebar. Lalu beringsut meninggalkan sang gadis seorang diri.
Plokk…Plokk…Plokk…
Suara tepukan tangan yang di buat-buat terdengar mendekat ke arah meja gadis itu.
“Tidak terlalu bagus, tapi lumayanlah. Cukup menarik.” Ucap seorang pemuda yang perlahan duduk di depan sang gadis.
“Puas kamu sekarang?!” Sang gadis berkata penuh emosi, air matanya perlahan mengalir membasahi pipinya.
“Hei… Kamu tidak lupa, kan? Siapa yang memulai ini semua. Kamu yang menginginkan aku. Aku hanya menurutimu saja.” Sang pemuda berkata dengan nada mengejek.
“Kamu… Kamu memang senang menari di atas penderitaan orang lain.”
“Sudahlah. Aku sudah menemukan tempat aborsi yang aman. Aku akan mengantarmu malam ini.”
Sang gadis itu berdiri.
“Kamu memang jahat, Rayi.”
Sang gadis terisak dan meninggalkan pemuda itu dengan kesalnya. Sang pemuda tersenyum-senyum. Tampak wajahnya begitu bahagia. Dendamnya akan segera terbalas.
Sementara di luar, tarian gerimis telah berubah menjadi hujan. Hujan lebat di tengah terik hari kabisat.

Painting belong to inkpaintwords

Rabu, 17 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D2


SEBILAH BELATI BERKARAT

Kantor Polisi ini terasa semakin mencekam. Seorang ibu paruh baya tampak mondar-mandir di ruang tunggu itu. Ia terlihat begitu gelisah tak ubahnya seekor cacing kepanasan. Sementara seorang pemuda tanggung duduk santai di dekatnya. Seakan tak peduli dengan apa yang terjadi.
Kemudian, satu lagi pemuda tanggung yang wajahnya begitu mirip dengan pemuda satunya keluar dari sebuah ruangan bersama seorang pria setengah baya. Dari dandanannya, sepertinya si pria paruh baya itu adalah lawyer.
“Kakak, kamu tidak apa-apa nak?” tanya sang ibu cemas.
“Ya jelas tidak apa-apalah. Orang aku gak bersalah kok.” Jawab pemuda itu singkat dengan nada kesal.
“Syukurlah kalau begitu.” Sang ibu mulai tenang.
Raka, pemuda ini dimintai keterangan pihak kepolisian atas ditemukannya kerangka belulang manusia yang tenggelam di Danau Kalimaya. Kerangka itu di temukan oleh seorang pemancing yang iseng menyelam ke dasar danau. Kerangka itu dipastikan mati di bunuh karena ditemukan sebilah belati masih tersangkut di antara belulang dadanya. Kerangka itu telah dapat di identifikasikan. Seorang gadis belia bernama Rara Ayu Wangi. Pacar Raka. Mantan pacar Raka, tepatnya.
Sesampainya di rumah, Raka terduduk lesu. Ia masih tak percaya bahwa gadis yang sebenarnya masih dicintainya itu mati dengan cara yang tak wajar. Ia maklum sekali jika polisi mencurigainya sebagai tersangka karena ada motif yang masuk akal jika tuduhan itu mengarah kepadanya. Ia putus dengan gadis itu. Bisa saja polisi menduga pembunuhan itu berlatar belakang sakit hati. Namun bagaimana bisa Raka membenci gadis itu. Sampai sekarangpun, Raka masih mencintainya. Masih menginginkannya. Meskipun gadis itu telah mencampakkannya secara tiba-tiba dengan alasan absurd, setahun yang lalu. Lalu menghilang tanpa jejak seminggu setelahnya. Ternyata.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang membunuh gadis pujaannya itu. Pembunuh yang mengakhiri nyawanya dengan sebilah belati. Belati yang seperti ia sangat kenali. Belati berukirkan kalimat “Dagger of Brutus” itu tampak seperti familiar olehnya. Seperti ia sering melihatnya. Namun di mana.
“Hai Ka, aku turut berkabung untuk pacarmu ya.”
“Mantan, Rayi.”
“Tapi kamu masih mencintainya, kan?”
Raka hanya terdiam.
“Eh, aku pakai mobilnya ya, sebelum jam tujuh aku udah balik kok. Janji.” Ucap Rayi sambil tersenyum lucu. Membuat Raka tertawa.
Rayi adalah adik Raka satu-satunya. Banyak yang menganggap mereka kembar. Namun tidak. Mereka kakak beradik bukan kembar. Raka lebih dulu lahir, Rayi lahir setahun kemudian. Meski wajah mereka mirip, namun perangai mereka berbeda seratus delapan puluh derajat. Raka yang ramah dan murah senyum tak akan sama dengan Rayi yang sok cool terkesan angkuh. Namun, mungkin malah karena sikapnya yang misterius ini membuat gadis-gadis di kampus terpikat olehnya. Sudah menjadi rahasia umum jika Rayi adalah seorang playboy. Berbeda sekali dengan Raka yang setia.
“Iya, mobil itu kan mobil kamu juga.” Jawab Raka dengan tersenyum.
“Makasih kakak.” Sambut Rayi ceria.
Rayi bergegas masuk ke kamarnya. Mengemasi beberapa barangnya ke dalam tas. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kayu antik dari dalam lemarinya. Membukanya. Tampak dua bilah belati tersusun rapi pada ceruk kotak tersebut. Ada satu ceruk yang kosong. Rayi tersenyum memandangnya. Lalu menutup kotak itu kembali. Memasukkannya ke dalam tas. Dan bergegas keluar dari kamarnya.
“Mama, adik jalan dulu.” Teriak Rayi sambil berlalu.

Painting belong to artfinder

#15HariNgeblogFFDadakan #D1


(BUKAN) CENAYANG

Aku selalu tak habis pikir dengan apa yang telah terjadi padaku setahun belakangan ini. Aku tidak bisa barang sedetikpun untuk untuk tidak melamunkannya. Saat aku terjaga, aku mengingatnya. Saat aku terlelap, aku impikan dia. Ahh, kemana Rayi Playboy yang dulu. Kemana bocah bengal yang suka main perempuan itu. Mati. Mungkin.
Hatiku seperti terjatuh dalam genangan cinta ini. Terjerembab dan sulit untuk bangkit. Namun aku menikmatinya. Aku menikmati setiap detik kasmaranku kepadanya. Aku terlalu menyukai gadis itu. Gadis yang setahun lalu bertemu di pantai ini. Di sini. Di atas tebing curam ini. Gadis yang pemberani. Padahal ketika itu aku menyangka dia akan berbuat bodoh. Lompat ke bawah misalnya. Ahh, goblognya aku. Mengapa begitu naif. Memangnya gadis yang berdiri di tebing tinggi harus selalu akan bunuh diri. Dasar dangkal.
Lalu, saat pertama kudengar suaranya. Bagai entah seperti suara merdu yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Merdu mendayu. Bisikkan pembuluh rindu. Akupun terpesona. Hingga kami bisa renyah berbincang dan entah darimana dia seperti tahu siapa aku. Seorang player yang telah banyak menipu. Menipu gadis-gadis baik. Ahh, kamu seperti cenayang saja. Bisa membaca apa yang orang lain tak bisa.
“Aku bukan cenayang.” Bisiknya lembut di telingaku. Aku hanya wanita biasa yang dikirim untuk menghentikanmu. Begitu lanjutnya. Ahh, aku rela berhenti untukmu. Kamu, terlalu sempurna. Sepertinya aku jatuh cinta. Playboy jatuh cinta? Ya. Aku. Aku akan berhenti, dan menambatkan perahu hatiku berlabuh di dermaga cintamu.
“Belum lama kan Ray?”
Suara merdu itu muncul dari arah belakang. Aku telah sangat mengenalnya. Rara, gadis jelita penawan hatiku.
Segera aku berbalik, merengkuhnya dalam pelukku. Menciumnya dengan hebat seakan ini saat terakhir untuk bertemu.
Hey... easy, Boy.”
Dia tersenyum. Kami berdiri berhadap-hadapan. Ahh, matanya. Sekarang aku benar-benar telah terpenjara.
“Kamu siap, sayang?”
“Kapanpun kamu meminta.”
“Kamu siap berhenti, dan benar-benar mengakhiri petualangan cintamu.”
“Iya sayang. Kamu... kamu seperti cenayang saja. Selalu tahu apa yang ada dalam pikiranku. Aku akan berhenti. Mengakhiri petualangan cintaku. Di kamu.”
“Kamu itu ya, selalu saja bilang aku cenayang. Aku bukan cenayang. Aku Rara. Rara Kembang Mayang.
“Rara? Rara Kembang Mayang? Siapa itu, sayang?”
“Aku. Aku yang telah kamu ijinkan untuk menghentikanmu. Mengakhiri hidupmu. Bukankah aku sudah bilang pada awal kita bertemu. Aku dikirim untuk menghentikanmu.”
Aku samar mendengar kalimat terakhir yg di ucapkannya. Seperti ada benda tajam yang menembus di dada, merobeknya hingga tembus jantungku. Tiba-tiba aku gemetar, lemas, darah meruah dari dadaku. Kulihat dia tertawa. Entah apa maksudnya.
Aku semakin tersungkur. Penglihatanku mulai mengabur. Kudengar samar ia berbisik, “Aku bukan cenayang. Namaku Rara si Kembang Mayang. Aku dikirim untuk menghentikanmu.”
Gelap.

Painting belong to EIJIEL

Senin, 15 Oktober 2012

#CurhatSahabat


SIAPA SELINGKUH SIAPA

Gelap mulai merapat. Temaram cahaya lampu kafe ini tak bisa menyamarkan mata sembabku. Pun, dengan make-up hasil salon langgananku. Mereka semua kalah dengan sedihnya mata yang membengkak ini.
Aku masih sibukkan jemariku dengan tombol-tombol smartphoneku memainkan game favoritku. Sekedar untuk menghapus gundah yang menggayutiku sekarang. Aku di sini menunggu seorang pria brengsek. Namun aku mencintainya. Aku sudah bersamanya hampir lima tahun lamanya. Dan, sudah setahun belakangan ini kami telah serumah. Kumpul kebo. Kami belum menikah. Untuk apa, pikirku. Kita cukup bahagia dengan keadaan yang begini. Cukup.
Hingga, kemarin dengan mata kepala sendiri aku mendapatinya tengah makan malam di restoran paling mahal di kota ini. Candle light dinner. Siapa yang tidak panas coba. Ditambah dengan dirinya yang menyangkal kelakuannya ketika kutanya sesampainya di rumah. Namun, seketika bibirnya membisu saat aku tunjukkan foto-foto bukti perselingkuhannya. Bah! Dasar brengsek!
Waktu seakan berjalan melambat menuju pukul tujuh. Kenapa dia belum datang. Kita berjanji menyelesaikan semuanya malam ini. Di sini. Di tempat di mana dia memintaku menjadi belahan jiwanya. Shit! Jika ingat saat itu dan mendapati kenyataan sekarang aku langsung mual. Ingin segera muntah. Muntah ke mukanya.
Jam tujuh lewat lima menit, pria tinggi tegap berdada bidang memakai setelan rapi itu telah berdiri beberapa langkah di depanku. Di belakangnya berdiri sok manis perempuan yang akan  menghancurkan masa depanku itu. Damn, ingin rasanya mencakar perempuan sundal ini. Mengapa dia juga datang. Kepalaku langsung mendidih, untung hati mengingatkan untuk tetap tenang. Aku tidak mau berbuat kampungan di depan wanita kampung itu. Ya, dia berasal dari desa. Aku sudah menyelidikinya. Aku harus bersikap datar dan tenang.
“Belum lama menunggu, bukan?” ucapnya.
Aku tidak menyahut. Aku duduk kembali ke kursiku. Dia duduk di depanku. Perempuan jalang ini duduk di sampingnya. Bangsat!! Tenang... Tenang... Nadia, kamu gadis berpendidikan, wanita metropolis yang tahu adab. Jangan terbawa emosi.
Namun ternyata air mata ini tidak mau berkompromi. Ternyata perih lukaku ini terlalu kuat berontak.
Dia berdiri mendekat ke arah ku. Menghapus air mataku dengan tissue.
Aku berdiri. Tak tahan rasanya memendam sesak di dalam dada. Persetan dengan gadis berpendidikan. Persetan dengan wanita metropolis yang tahu adab. Amarah ini rasanya sudah di ujung ubun.
Lantang aku berteriak, “Kamu pilih aku atau dia?!” sembari menunjukkan telunjukku ke arah perempuan sialan itu.
Dia terdiam.
“Kamu pilih aku atau dia?!” Kuulangi pertanyaanku, kali ini dengan tinggi nada dua kali lipat. Sontak, meja kami menjadi pusat perhatian tamu-tamu restoran yang lain.
“Kamu duduk dulu, Nadia. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Apa yang harus di jelaskan, Dit?!” Ucapku, kali ini dengan isak tangis. Kulirik perempuan hina itu. Masih terdiam. Sepertinya dia senang dengan keadaanku sekarang. Hatinya mungkin tertawa. Damn!
Aditya mendudukkanku kembali ke kursiku. Dia kembali duduk di kursinya.
“Nadia, aku benar-benar minta maaf.”
“Maaf?! Untuk perselingkuhanmu ini? Untuk pengkhiatanmu ini? Kamu jahat, Dit. Kamu jahat. Jadi sekarang, putuskan! Kamu pilih aku atau dia?” Ucapku memberinya pilihan.
Aditya terdiam.
Emosi aku siramkan air putih dalam gelas ini ke wajahnya.
“Brengsek kamu!!”
Aditya memandang wajahku lekat. Menatap mataku dalam-dalam. Perlahan dia mulai berucap, “Dia istriku, Nadia.”
“Apa?!” Aku mendengarnya samar.
“Dia istriku, Nadia. Istri sah ku sejak sepuluh tahun yang lalu.”
Apa?!... Jadi...
Mataku gelap.


Painting belong to The Long Lost Woods