^^

Rabu, 20 Maret 2013

#BermainApi #04

DISAMBAR PETIR

                Muryati gundah tiada henti ketika di luar hujan semakin deras tertumpah. Hatinya cemas bukan kepalang mendapati jam dinding telah menunjukkan pukul lima sore lebih. Dia mondar-mandir gelisah di dalam gubuk reyotnya yang atapnya bocor di mana-mana.
                Kembali dia menatap ke luar jendela dan kembali nanar melihat hujan yang semakin deras mengamuk. Langit semakin gelap menghitam. Masih tak didapatinya sosok yang ia tunggu. Kemana gerangan Susanti, bocah ayu anak semata wayangnya.
                Hari ini Minggu. Susanti libur sekolah. Seperti biasa, di kala hari Minggu atau hari-hari libur lainnya tiba, Susanti selalu membantu Muryati, ibunya yang janda untuk berjualan gorengan. Apalagi sore ini akan ada pertandingan sepak bola antar kampung di lapangan desa. Susanti semakin bersemangat untuk membantu ibunya yang janda.
                Dengan senyum tersungging di bibir kecilnya, Susanti berjalan sambil berdendang membawa dagangan gorengan ke lapangan. Hatinya berbunga-bunga secerah mentari yang bersinar terang hari ini. Ia yakin dagangannya akan laris manis.
                Benar. Gorengan Susanti telah berubah menjadi lembaran-lembaran rupiah di genggamannya bahkan sebelum sepak bola antar kampung ini usai. Ia senang bukan kepalang. Dengan gembira segera ia berlari kembali ke rumahnya untuk segera menyampaikan kabar gembira ini kepada ibunya yang janda.
                Namun, baru beberapa meter ia berlari. Awan hitam datang bergulung-gulung menutup langit dan serta merta menumpahkan hujan yang maha dahsyat derasnya. Susanti berteduh di bawah pohon yang rindang.
                Sementara di rumah Muryati semakin gelisah. Jantungnya berdetak semakin kencang ketika suara halilintar bergemuruh, berlomba-lomba memekak memecah derap turunnya air hujan. Pikirannya semakin kacau. Kemana Susanti?
                Tiba-tiba, dari kejauhan tampak sesosok wanita mendekat ke arah rumahnya. Wanita itu berteriak kencang memanggil namanya. Suaranya beradu nyaring dengan deras hujan yang turun.
                “Mak Mur! Mbak Mur!”
                “Ada apa Sum? Kenapa kamu berteriak-teriak?” angsur Muryati ketika wanita itu telah samapi di gubuknya.
                “Anakmu mbak. Anakmu!” ucap Sum dengan histeris.
                “Kenapa dengan anakku? Kenapa dengan Susanti?” Muryati mulai menangis. Ia takut apa yang dipikirkannya terjadi.
                Segera Muryati bersama Sum bergegas membelah hujan untuk menuju ke tempat Susanti dikatakan berada. Muryati tak lagi menghiraukan derasnya air langit yang tumpah ini. Pikirannya hanya tertuju pada anaknya. Susanti.
                “Susanti!!” pekik Muryati ketika melihat tubuh anaknya telah gosong kaku tertutup daun pisang. Meraung-raung ia menangis. Suara tangisannya mampu mengalahkan gempita suara air hujan yang masih saja deras mengguyur bumi. Beberapa tetangga mencoba menenangkannya. Namun, Muryati malah menjadi. Ia menangis seraya tubuhnya berguling mengejang-kejang di tanah yang basah bercampur lumpur.
Kali ini tetangga-tetangganya mematung. Seolah tak kuasa bergerak melihat perempuan paruh baya itu menggelepar kejang-kejang di tanah sambil terus meneriakkan nama anaknya. Susanti. Kali ini tetangganya hanya mampu menemaninya dengan ikut berlinang airmata.
Entah apa yang Tuhan tulis untuk Muryati. Suami dan anak semata wayangnya di jemput malaikat maut berkendara petir. Tetapi Tuhan maha rencana. Pun, pengasih lagi penyayang. Muryati janda kini sebatang kara. Ditengah hujan ia merana. 

Sketch belong to laudatortemporisacti

Minggu, 10 Maret 2013

#BermainApi #03


MENGANTAR MAYA

                Perih terasa setiap kuulang adegan ini. Babak hidupku yang  selalu mengulang. Rutinitas menyakitkan yang selalu terampil mengiris hati ini tipis-tipis. Pedih.
                Kulihat dirinya perlahan menghias wajahnya dengan rona-rona. Menyapukan tipis kuas bulat menggembung itu ke muka pipinya. Lantas melaburkan gincu merah kepada bibirnya. Sebenarnya kamu tak perlu menambahkan ini itu. Kamu sudah cantik apa adanya di dalam mataku.
                Aku masih duduk terdiam memandang wajahnya yang perlahan berubah. Tertutup hias dunia yang kurasa malah menutup kecantikan abadinya. Dia masih saja mematut diri di depan cermin berbingkai kayu jati berwarna coklat itu. Seperti tak menghiraukankku.
                Entah berapa lama lagi aku harus menunggu. Menunggu dirinya untuk menjadi milikku. Menunggu waktu bersuci memeluk diriku. Mengembalikanku ke jalan yang benar, bersamanya.
                “Pram!”
                Aku tergagap dengan reflek kaki menginjak pedal rem dalam-dalam. Di depanku sudah berdiri sebuah gardu listrik dengan sombongnya. Jantungku berdegup sangat kencang. Lalu, kurasakan sebuah benda menghantam badanku.
                “Kamu mau bunuh diri ya?!” bentaknya seraya menarik tasnya dari badanku.
                “Maaf May.”
                “Maaf! Maaf!, kalau sampai nabrak kita bisa mati tahu!” hardiknya.
                “Maaf tuan putri, aku sedang kurang enak badan ini.”
                “Kalau nyetir jangan melamun dong. Lagian, kamu ngelamunin apa sih?”
                Aku menggeleng. Dia masih tampak kesal.  
                Kembali kulajukan mobil ini ke tempat tujuan. Kepalaku serasa pecah. Mengapa aku kembali melakukan ini.
                Maya segera turun begitu mobil ini berhenti.
                “Ingat ya Pram, hubungan kita hanya sebatas artis dan manager. Tidak lebih. Jangan hanya karena aku mau bercinta denganmu lalu otomatis aku menjadi pacar kamu. Lagi pula kamu kan yang membawaku ke tempat seperti ini. Terima sajalah kalau kamu itu masih seorang mucikari. Jadi tidak usah sok suci.”
                Kulihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ada perih yang tampak jelas tergambar di matanya. Perih yang aku sebabkan. Luka yang aku buat ketika pertama kali aku memperkenalkan duniaku kepadanya.
                Dari jauh, kulihat Maya telah duduk di depan pelanggannya. Seorang pria paruh baya yang menjadi langganan Maya. Aku yang memperkenalkan dia kepadanya. Perkenalan yang membuatku menyesal hingga kini.
                Tuhan, bisakah aku berhenti?

sketch belong to : leadhead60