^^

Senin, 24 Oktober 2011

#BermainApi


IJIN TUHAN


            Aku lihat tanganmu melambai mengangkasa di kerumunan. Aku masih jalan perlahan. Aku gontai. Aku sepi dan selalu begini. Sebenarnya ingin aku melupakanmu, menggantimu dengan wajah baru yang Tuhanku setuju. Namun aku ragu. Aku tidak mungkin mampu. Kamu cinta pertamaku. Dan akan selamanya begitu.
            Dan, seperti biasa. Kamu tetap tersenyum ramah,  selalu menyapaku renyah. Melihatmu yang begitu lelah, dan kamu masih sanggup tersenyum untukku itu adalah bukti betapa kamu mencintaiku. Perlu kau tahu Vi, akupun mencintaimu. Dan akan selamanya begitu.
            Dan akan selamanya begitu. Karena aku yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik bagi anakku. Serta ibu yang baik pula bagi anakmu. Kamu begitu sayang kepada mereka berdua. Meski aku tahu beban itu berat, engkau tak percayakan siapapun untuk menyentuhnya. Mereka tetap dalam pelukanmu. Berdua lelap dalam dekapanmu. Kamu sungguh seorang wanita perkasa. Kamu terlalu istimewa untukku. Dan akan selamanya begitu.
            Kita berjalan beriringan setelah kini anakku bergayut pada tubuhku. Kamu begitu sexy saat melangkah seperti itu. Kamu tak merasa repot meski ada anakmu di dekapanmu. Itulah yang membuatku semakin tidak ragu. Untuk memilih dirimu menjadi istriku.
            Tapi Vi, terus terang aku masih bimbang. Lanjutkan kisah kita ini atau berhenti di sini. Aku tidak cukup berani untuk menentang Tuhanku. Dan akupun tahu, kamupun akan berfikir seribu kali untuk menentang Tuhanmu. Meski kita sudah lama bersama. Meski masing-masing cinta kita sempat pergi. Namun mereka kembali bukan. Cintamu kembali kepadaku karena telah lama mengenalku. Seperti halnya aku yang telah sangat mengenalmu. Hanya saja, masing-masing Tuhan kita belum mengenal satu dengan lainnya. Jadi, apakah kita akan melanggar aturan, atau sabar untuk menunggu hingga Tuhan kita kenalan. Semua ini telah lama aku pikirkan. Namun hingga kini belum bisa aku putuskan. Aku masih bimbang. Memilih melanjutkan cinta bersamamu atau tetap memeluk aturan Tuhanku.

            “Hey, kok melamun begitu.”
            “Ah, tidak juga.”
            “Apanya yang tidak juga? Kamu melamun apa Bie? Kita?”
            Aku hanya bisa mengangguk.
            “Akupun telah beribu kali fikirkan. Kita teruskan, atau kita berhenti di sini Bie.”
            “Aku tidak mau berhenti Vi, aku terlalu mencintaimu. Namun aku juga takut dengan Tuhanku.”
            “Aku juga ingin tetap bersamamu Bie, aku mau kita menikah secepatnya. Jika bisa bulan depan.”
            “Mana bisa? Hukum Negara kitapun belum mengenal pernikahan beda agama.”
            “Oleh karena itulah kita menikah di Belanda.”
            “Kamu yakin? Kamu tidak takut kepada Tuhanmu?”
            “Bukan masalah takut atau tidak. Aku telah memikirkannya beribu kali. Dan aku putuskan untuk mencintaimu hingga akhir nafasku. Aku yakin Tuhan merestui cinta kita.”

            Kutatap mata indahmu. Tak ada sedikitpun keraguan di sana. Mata yang sejak awal memikatku. Mata yang menjeratku dengan renjana cintamu. Mata yang membuatku jatuh cinta kepadamu.
            Ya, bulan depan kita ke Belanda. Ku harap kini masing-masing Tuhan kita telah berkenalan. Saling berpeluk dan mengijinkan aku memiliki wanita luar biasa sepertimu untuk menjadi pendamping hidupku. Selalu. Dan akan selamanya begitu.

**************

Kamis, 13 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #14 #pernikahan


KARMA BERTUTUR

           
            Lonceng jam lemari kuno yang berdiri di sudut ruang tamu rumahku berdentang tujuh kali saat aku dan Utami telah duduk di sofa kulit imitasi berwarna coklat ini. Kami menunggu ibuku keluar.
            Tak berselang lama ibukupun keluar bersama aroma parfum khas nya sehari-hari. Entah mengapa aku merasakan takut luar biasa. Kurasakan peluh menjalar di keningku. Aku tidak berani menatap ibuku. Aku tundukkan wajahku. Tangan kiriku menggenggam erat jemari Utami.
            Begitupun dengan Utami, pujaan hatiku ini juga menunduk. Wajahnya mulai memucat. Tangannya beranjak dingin. Dirinya terdiam seribu bahasa.
            “Untuk apa kamu bawa gadis itu kemari, Raganata?” tanya Ibuku sesaat setelah duduk di depan kami.
            “Raga mau bilang sesuatu kepada ibu, tentang hubungan kami, rencana pernikahan kami Bu.”
            “Ibu tidak setuju dengan hubungan kalian. Titik.”
            “Tapi Bu.”
            “Tapi apa? Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya Ibu tidak setuju dengan hubungan kalian. Ibu tentang rencana pernikahan kalian. Firasatku berkata, gadis itu bukan dari keluarga baik-baik.”
            “Bagaimana ibu bisa berkata demikian. Bertemu dengan keluarga Utami saja, Ibu belum pernah. Dan lagi, sekarang Utami hamil, Bu.” Ucapku perlahan.
            “APA!!” Ibu terperanjat. lalu berdiri.
            “Ya Bu, Utami kini telah hamil. Hamil anak Raga. Cucu Ibu.” Jelasku setengah merayu, mencari celah agar bisa menyusupkan simpati ke dalam hatinya. 
            Namun, kulihat mata Ibu malah membulat. Roman mukanya semakin mengeras. Wajahnya nampak tak senang.
            “Gugurkan bayi itu sebelum menjadi aib.” Ibu menunjuk ke arah perut Utami.
            Seketika kudengar Utami terisak, tangan kirinya menutup bibirnya. Mencegah agar suara tangis itu tetap berada di tempatnya.
            Mendengar apa yang baru di ucapkan ibuku, darahku berdesir, jantungku berdegup lebih cepat. Bagaimana bisa ibuku dapat setega ini. Ada sedikit amarah menyelinap dalam hatiku. Aku mulai berfikir untuk kawin lari saja dengan Utami, toh kami berdua sudah saling mencintai, perihal ibuku peduli setan.

            Baru aku ingin menarik lengan Utami untuk aku ajak pergi, seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam rumah. Memang pintu ruang tamu tadi tidak tertutup sempurna. Lelaki itu telah berdiri tegap di hadapan kami bertiga. Prasodjo, nama lelaki itu, ayah Utami. Sebelumnya, baru sekali aku bertemu dengannya. Anehnya, diapun membenciku sama seperti ibuku yang membenci Utami.
            “Pratiwi?!” ucapnya kaget saat sorot matanya tertumbuk pada sosok wajah ibuku. Darimana dia tahu nama ibuku. Apakah mereka saling kenal.
            “Rahardjo…untuk apa kamu kemari?! Untuk apa?!” sahut ibuku tak kalah heran mendapati laki-laki yang berdiri di depannya itu. Rupanya ibu juga kenal dengan lelaki itu.
            “Aku mau mengambil anakku. Aku akan membawanya pulang.”
            Mengambil anakmu? Beraninya kamu berkata demikian. Kemana saja kamu selama ini.” Kata ibuku.
Kurasakan udara semakin panas. aku masih memeluk Utami yang masih menangis. Kulihat ibuku mendekat pada lelaki itu.
“Aku tidak ada urusan dengan kamu lagi Pratiwi.”
“Lantas untuk apa kamu datang kemari, ha..!” hardik ibuku.
“Aku ke sini hanya untuk mengambil anakku. Dan tidak ada yang bisa mencegahnya, termasuk kamu.” Jawab lelaki itu dengan nada setengah membentak pada ibuku.
“Aku juga tidak akan menyerahkan anakku kepadamu. Anak yang tidak kamu akui. Anak yang kamu campakkan.” Ucap ibuku seraya melangkah ke arahku, berbalik dan membentangkan tangannya.
Sebentar sebentar, tadi kudengar ibu berkata anak yang kamu campakkan? Apa maksud ucapan ibu? Siapa yang dicampakkan.
            Ketika aku sebentar mencoba mencari-cari jawaban atas pertanyaan ini, tiba-tiba lelaki itu datang mendekat dan mendorong tubuh ibuku hingga tersungkur. Aku segera menolong ibu.
            Kemudian, lelaki itu menarik lengan kekasihku dan berjalan keluar.
            “Rahardjo tunggu.” Ibuku berteriak setelah kami berdua kembali berdiri.
            Lelaki itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh kepada kami.
            “Aku akan bawa Utami pulang. Aku akan bawa anakku pulang. Aku tidak mau anakku berhubungan dengan anak itu. Apalagi setelah tahu, anak itu adalah anakmu.” Ucap lelaki itu. Tangannya menunjuk ke arahku.
            “Jadi, Utami itu anakmu? Jadi yang kamu maksud anak yang ingin kamu bawa pulang itu gadis itu?” ucap ibuku pelan.
            “Iya, memangnya kenapa? Apa hubungannya dengan kamu?”
            “Jadi gadis itu anakmu?” Ibu mengulang ucapannya.
            “Iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?”
            Kurasakan tetesan air di tangannku. Air mata ibu tumpah. Apa yang sebenarnya terjadi. Kepalaku mendadak terasa berat.
Sebenarnya, ingin rasanya aku meraih kembali Utami ke pelukku, namun melihat ibuku yang teraniaya tidak mungkin pula aku meninggalkannya. Arrgghhh……
Ibuku maju selangkah,…
             “Perlu kamu tahu Rahardjo, perlu kamu tahu. Kamu lihat bocah di belakangku itu. Kamu lihat bocah yang kamu benci itu. Dia juga anakmu. Dia darah dagingmu. Dia anak yang aku kandung saat kamu membuang aku dan memilih perempuan itu. Dia anakmu Rahardjo. Anakmu!” ucap ibu histeris. Dia kembali ke arahku dan memelukku erat.

            Jlebb!
Ya Tuhan... benarkah apa yang aku dengar ini? Aku tatap mata lelaki di depanku itu dan Utami berganti-ganti.
            Kulihat, lelaki paruh baya itu terheran-heran sementara kekasihku mulai menangis lagi. Air matanya berlimpah. Dia menatapku tajam. Lalu, Utami terhuyung seraya memegangi perutnya dan akhirnya kini pujaan hatiku itu benar-benar telah ambruk.
            Aku masih berdiri mematung. Ibuku masih terisak dalam pelukku. Kini bajuku telah basah oleh air matanya yang tak kunjung mengering.

           Masih dalam jangkau indera penglihatanku, Lelaki paruh baya itu masih saja tampak terbengong mendapati reaksi kami. Ia belum menyadari bahwa dosa besar telah ikut dalam lakon ini. Dosa besar yang telah aku perbuat.
            Inikah firasat buruk yang ibu katakan padaku tentang hubunganku dengan Utami. Inikah jawaban mengapa dia tidak menyetujui hubungan kami
            Jika benar demikian adanya, jika benar lelaki paruh baya yang ada di hadapanku ini adalah ayahku, jadi Utami adalah ………..
 Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?
Lonceng jam lemari kuno yang berdiri di sudut ruang tamu rumahku kembali berdentang, kali ini delapan kali. 

..............

Rabu, 12 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #13 #rumah


SHE'S MY FATHER

            Hujan turun saat amarah kami mulai mereda.
          “Pokoknya aku minta cerai.” Ucapnya lirih, kedua telapak tangannya masih menutup mukanya yang tertunduk. Isak masih lemah terdengar.
            “Apakah harus begitu?” tanyaku padanya.
            “Terpaksa mas, aku malu. Keluargaku malu. Keluarga besarku malu mas.”           
         “Tapi Mi, sudah sepuluh tahun kita bersama. Kita sudah punya Satria. Kita hidup bahagia.”
            “Kemarin! Kemarin kita bahagia. Tetapi setelah semua ini terungkap, aku sudah tidak bahagia lagi. Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi mas. Aku malu…”
            Tangisnya kembali pecah.
            Huftt…apa yang aku bisa perbuat sekarang. Koran-koran serta tajuk berita televisi menuliskannya besar-besar. Berita ini telah luas menyebar kepada masyarakat. Pantaslah jika istriku malu. Begitupun aku.
            Kulihat Utami, istriku beranjak dari tempat duduknya. Dia mengambil koper besar, mengambil pakaiannya beberapa dari lemari. Lalu mengemasnya dalam koper.
            Aku hanya bisa menghela napas saja melihat tindakan istriku. Ingin rasanya tangan ini bergerak dan menahannya untuk tidak pergi. Namun, seperti ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa tidak mampu melakukan itu.
            “Satria aku bawa.” Ucapnya padaku kemudian.

            Mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi andai pada saat itu aku berani mencegah apa yang akan di perbuat ibuku. Namun, aku hanyalah seorang anak laki-laki yang kurang tegas saat berhadapan dengan ibuku. Orang tuaku satu-satunya. Seorang single parent yang kuat, tegas, dan dominan dalam mendidik anak-anaknya. Seorang ibu yang mengambil peran seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya. Mungkin, ketegasan ibuku malah jauh lebih besar jika di bandingkan dengan ayah teman-temanku kala itu. Pun, begitu hingga hari ini, ibu masih sangat mendominasi kami. Bagi kami, dia adalah ibu yang lemah lembut sekaligus seorang ayah yang disiplin, tegas atau mungkin bisa dikatakan galak.

            Hari sudah beranjak siang ketika handphone pribadiku berbunyi.
            “Halo Mas..” suara istriku dari seberang sana.
            “Ya halo, ada apa Mi.”
            “Bisa tidak kalau Mas ke sini sekarang. Anakmu nangis terus mencari Mas dari pulang sekolah tadi.”
            “Aduh, menangis kenapa?”
            “Aku juga tidak tahu, dia terus nanyain kamu. Mas bisa ke sini sebentar tidak?”
            “Oh iya iya, aku usahakan.”
            “Cepat ya Mas, aku sudah pusing. Satria nangis terus.”
            Brakk…suara gagang telepon di banting.

            Hatiku bertanya-tanya sepanjang perjalanan mengapa anakku menangis terus sedari tadi seperti kata istriku. Bukan kebiasaan Satria seperti itu. Anakku bukan tipikal anak cengeng menurutku. Aku jarang sekali mendapatinya menangis. Apa yang terjadi sebenarnya.

            Brumm…mobilku aku parkirkan di bawah pohon Mangga rumah mertuaku ini. Ya, aku datang ke rumah mertuaku. Utami memilih minggat dari rumah ibuku saat kasus yang menimpa mertuanya benar-benar membesar.
            “Lama banget sih Mas, tuh anakmu di kamar nangis terus.” Sambut istriku saat membuka pintu rumah besar ini.
            “Macet.” Jawabku singkat.
            Segera aku menuju kamar di mana anakku terbaring menangis.
      Satria segera beringsut dari pembaringannya lalu memelukku erat-erat. Masih menangis.
            “Ayah...” ucapnya terisak.
            “Iya, ada apa jagoan ayah kok menangis seperti ini?” Jawabku sambil melepaskan pelukannya dan mendudukkannya kembali di kasur.
            Aku berjongkok di depannya.
            “Ayah baca koran, kan?” Tanya Satria.
            “Iya, kenapa memangnya?”
            “Tadi teman-teman Satria bawa koran, lalu menunjukkannya ke Satria. Di Koran itu ada foto nenek besar sekali. Ada tulisannya besar juga. Pratiwi, Anggota Dewan terdakwa kasus suap proyek bantuan Koperasi Desa akan di vonis minggu depan. Lalu teman-teman mulai mengolok-olok Satria. Cucu koruptor…Cucu koruptor….begitu yah.” Cerita anakku detil.
            Kembali aku menghela nafas dalam-dalam.
            “Ayah, jadi benar yang Satria lihat kemarin di berita televisi itu nenek. Nenek itu korupsi ya yah?” lanjut anakku.
            Aku bingung bagaimana harus menjelaskan semua ini kepada anakku. Bagaimana aku menyampaikannya dengan kalimat yang tepat untuk seorang bocah sembilan tahun ini. Bagaimana jika dia salah pengertian nanti. Bagaimana jika dia berubah membenci neneknya, lalu membenci aku seperti yang terjadi pada istriku. Bagaimana?

            Rumah ini terasa sepi ketika hanya aku dan beberapa pembantu yang masih berada di sini. Rumah ini sepi tanpa gelak tawa candaan anakku dengan ibuku. Rumah ini sepi tanpa suara televisi yang ditonton istriku. Rumah ini sepi tanpa adanya tamu-tamu ibuku yang entah siapa itu yang datang setiap malam. Rumah ini sepi ketika ibuku telah pergi. Dan sekarang benar-benar sepi saat istri dan anakku juga pergi. Aku kesepian.
            “Bapak bangun, sudah malam silahkan tidur di dalam. Nanti masuk angin.” Ucap mbok Sumi membangunkanku yang ternyata tertidur di kursi teras belakang rumah.
            “Makasih ya mbok.”

            “Berat Mas Wisnu, semua saksi memberikan pernyataan yang memberatkan ibu.” Kata Alloysius, pengacara kami.
            “Apa benar-benar tidak bisa di usahakan pak? Maksud saya, apa tidak ada satupun saksi yang bisa meringankan.”
            “Itu yang masih saya usahakan. Sebaik mungkin. Mas Wisnu percaya saja sama saya.” Ucapnya sambil kita  menuju ruang besuk penjara.
            Akhirnya, setelah seminggu lamanya kembali kudapati wajah ibuku. Meski masih terlihat keras roman mukanya namun mata itu terlihat kelu.
            Kami berpelukan erat. Ada yang beda dengan pelukannya kali ini. Kali ini aku merasakan pelukan seorang ibu seperti dua puluh tahun yang lalu, saat ayah kami belum berpulang.
            “Apa khabar kamu, Le.” Tanya ibuku masih menggunakan panggilan Thole untuk semua anak laki-lakinya.
            “Baik Bu.”
            “Istrimu dan anakmu mana?”
            Aku tercekat sesaat. Bingung harus dari mana aku memulai ceritanya. Aku memang tidak pandai berkata-kata.
            Meski dengan cara yang simple cenderung monoton akhirnya aku bertutur juga perihal anak istriku kepada ibu.
            “Benar bukan apa yang ibu katakan dulu. Istrimu itu bukan tipikal istri yang setia pada suami. Saat kita berlebih, mewah, serba ada, bahagia, dia ikut. Nah sekarang kamu lihat kan?!” suaranya mulai meninggi. Sosok ayah yang galak itu kembali merasuk ke dalam ibuku.
              “Tapi bu..”
            “Ah sudah sudah. Ibu tidak mau berdebat dengan kamu.” Tutupnya lantas beralih kepada pengacara kami.
            Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya bisa mendengar sayup-sayup dari seberang meja ini.
           
            Mendung makin menebal di pagi ini. Semendung hatiku yang risau dengan kasus ibuku yang semakin memanas itu. Aku mengambil koran yang ada di meja teras. Dan kudapati gambar rumahku yang telah bergaris polisi terpampang besar di halaman muka. Aku hanya bisa mengelus dada. Memang, sejak seminggu yang lalu, gelombang demonstrasi di depan rumahku semakin menggila. Entah dari ormas mana saja mereka datang. Kadang berujung anarkis. Sejak saat itu, aku menumpang di rumah adikku yang bungsu.
            Masuk ke ruang keluarga, kudapati adikku terduduk lesu di sofa malas depan televisi. Sama seperti aku, adikku pun lesu dengan musibah yang menimpa keluarga kami. Bedanya, istri dan anaknya masih bersamanya. Istri dan anakku, entah sekarang mereka kemana. Seminggu ini sudah tidak ada kabar. Pun dengan aku, sepertinya aku terlalu sibuk mengikuti kasus ibuku ini hingga mungkin lupa untuk berkabar dengan mereka. Biarlah, aku harus fokus pada ibuku terlebih dulu, setelah selesai baru aku cari mereka, begitu fikirku.

            Pagi ini sengaja aku tidak masuk kantor. Hari ini sidang ibuku yang kesekian kalinya di gelar. Agenda sidang kali ini adalah pembacaan putusan. Hatiku berdegup lebih cepat dari biasanya. Untung ini bukan hari Senin, jika iya pasti aku sudah terserang serangan jantung. Sungguh aku risau.

        Ruang sidang telah riuh dengan suara hadirin yang telah menyesak. Mayoritas dari mereka adalah orang yang benci dengan ibuku. Orang-orang yang merasa tersakiti dengan apa yang telah ibuku perbuat, meski itupun masih harus dibuktikan kebenarannya.
Tampak ibuku telah duduk manis di depan meja hijau itu. Masih sama, masih terlihat keras roman mukanya namun mata itu terlihat kelu. Ada sebersit takut menggayut.
Hakim ketua mulai mengkondisikan sidang. Menyuruh hadirin yang terlampau riuh untuk sejenak diam.
“….DINYATAKAN BEBAS…..”
Thok..Thok..Thok….
Keadaan mulai tak terkendali, suara-suara keras kembali menyeruak. Aku tidak peduli mereka.  Aku hanya terfikir ibuku. Kuhampiri dan kupeluk erat dirinya. Kulihat Alloysius dan rekan pengacaranya tersenyum.
“Kamu tidak usah khawatir Le, benar salah itu tidak mungkin tertukar. Mari kita pulang ke rumah.” Ibuku tersenyum.

Selasa, 11 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #12 #mantan


LIKE FATHER LIKE DAUGHTER
      

       “Padahal, sebenarnya kemarin aku sudah menyerah Luh. Aku sudah pasrah kamu anggap aku ini apa. Pacar atau hanya sekedar teman?”
       Galuh mendongakkan kepalanya memandang ke arah Gusti. Dia tertawa kecil.
       “Kamu berubah Gus, mana Gusti yang penuh ambisi dan semangat serta tak kenal kata menyerah itu?” ucap Galuh sambil meninju manja dada Gusti.
       “Gusti yang kemarin, telah pergi bersama perginya Galuh yang ceria dan murah senyum itu.” Ucap Gusti lirih.
       “Tapi Galuh yang dulu kini telah kembali. Jadi Gusti yang dulu kembali juga kan?” Tanya Galuh manja.
       Gusti tersenyum.

       “Pasti.”
       “Jadi…” Galuh menggantung kalimatnya.
       “Jadi apa?” Tanya Gusti.
       “Kamu memaafkan aku kan?”
       “Ya.” Gusti mengangguk.
       “Kamu menyayangi aku?”
       “Ya, aku menyanyangi kamu Galuh.”
       “Sebesar apa sayang kamu padaku”
       “Sebesar semangatmu untuk dapatkan medali emas di Sea Games itu.”
       Keduanya kini berdiri. Berhadap-hadapan. Galuh menghela nafas panjang.
       “Meskipun aku suka pergi dan meninggalkan kamu?” sambung Galuh.
       “Meskipun kamu suka pergi dan meninggalkan aku.”
       “Meskipun aku suka menghilang tiba-tiba?”
       “Meskipun kamu suka menghilang tiba-tiba.”
       “Meskipun aku hanya anak seorang tukang becak?”
      “Meskipun kamu anak seorang tukang becak. Meskipun orang tua kamu tidak bekerja. Meskipun kamu tak memiliki orang tua sekalipun, aku tetap sayang kamu Galuh.”

       Galuh menatap lekat pemuda tampan yang berdiri di depannya. Pemuda yang kini memeluknya. Pemuda yang memiliki tatapan mata setajam sorot mata Elang. Pemuda yang menjadi pangeran mimpinya.
        “Aku sayang kamu Gus.”
       
   Gusti menatap mata Galuh lekat. Seakan sorot matanya berucap “Aku juga mencintaimu Galuh.” Gusti mendekatkan bibirnya ke bibir Galuh. Galuh menyambutnya perlahan. Bibir keduanya kini telah menyatu. Melekat erat seerat pelukan antar keduanya.

       Tuhan, aku sedang tidak bermimpi bukan?” tanya Galuh dalam hati.
      Hujan perlahan turun membasahi bumi. Angin bertiup perlahan membawa kesejukan.

       “Gus, aku akan pergi sekarang dan kamu tidak perlu protes lagi bukan? karena aku tidak mungkin lagi dapat berdebat denganmu untuk hal yang satu ini. Aku harus dapatkan emas itu. Aku ingin buat Ayahku bangga serta bahagia. ” Galuh menatap Gusti.
       “Aku mengerti.” Jawab Gusti mengangguk.
       Gusti hanya bisa tersenyum melihat Galuh melangkah pergi dan berlari begitu cepatnya.

       “Mungkin aku terlalu egois untuk paksakan kehendakku. Seharusnya aku maklum. Apa yang di lakukannya selama ini semata demi Ayahnya. Maafkan aku Galuh. Aku mengerti sekarang. Wujudkan cita-citamu. Raih emas itu. Seperti yang Ayahmu telah lakukan dua puluh tahun yang lalu. I Love You.” Gusti tersenyum.

       …….

Senin, 10 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #11 #hujan


HUJAN CINTA

Pagi itu hujan masih belum berhenti sejak semalam. Wajahku masih muram di kawal langit yang kelam. Mendung tetap menggantung bersiap menumpahkan airmatanya. Hari seperti apa ini? Mengapa sangat tak bersahabat. Bahkan langitpun tak henti menangis.

Aku adalah wanita desa dari Sukabumi yang lugu serta ayu. Aku tersesat di Miyagi sejak setahun yang lalu. Aku tergiur honor yang tinggi sehingga aku mantab pindah ke negeri matahari terbit ini. Selain itu aku telah lama suka negeri sakura. Sejak kecil aku seorang pelahap manga. Jadi setidaknya, selain aku dapat bekerja, di sini aku juga semakin dekat dengan apa yang aku suka. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Hatiku senang sekali.

Baru setahun aku di sini, namun Tuhan terlalu menyanyangi aku. Aku telah memiliki semuanya. Karir yang telah promosi. Gaji yang makin tinggi. Sahabat yang selalu menemani. Semuanya. Tapi hatiku hampa. Aku butuh cinta. Enam bulan ini aku telah dekat dengan seorang pria Jepang rekanku bekerja. Namanya Kato. Kato baik, romantik, setia, pelindung dan seksi. Tubuhnya bak model sampul majalah fitness pria. Aku suka. Namun, enam bulan bersamanya tidak serta merta mampu menambatkan cintaku pada hatinya. Hubungan kami berjalan biasa saja. Aku merasa begitu. Bagaimana dengan Kato aku tak tahu. Dalam laut bisa di ukur, dalam hati siapa kira. Kato, maafkan aku.

Mengapa hujan ini tak juga berhenti. Untung aku ambil cuti hari ini. Badanku entah mengapa sakit semua. Aku duduk di depan televisi saat gempa kecil terjadi. Aku sudah tak kaget lagi. Setiap hari gempa terjadi. Aku sudah cukup mampu membiasakan diri. Semua masih di bawah kendali. Hingga air datang menerjang di luar sana. Semua hanyut tak bersisa. Termasuk aku. Bagaimana dengan Kato? Hatiku menanyakannya.

Enam bulan berlalu setelah badai tsunami itu pergi. Aku amat bersyukur masih bisa menatap mentari pagi ini. Tetapi mengapa hatiku jadi teringat kepada Kato. Apakah dia selamat? Atau tidak? Sama sekali aku tidak mendengar kabarnya. Aku belum berani terbang ke Jepang sekarang untuk mencari berita tentang dirinya. Aku trauma. Bahkan dengan hujanpun aku takut. Aku hanya bisa berdoa untuknya.

Sembilan Oktober dua ribu sebelas. Aku telah duduk rapi di pelaminan. Di luar hujan. Namun tetap tak menyurutkan semangat para tamu untuk datang ke resepsiku. Ya, aku menikah dengan cinta pertamaku. Dia rekan kerjaku di BATAN sekarang. Dia melamarku satu bulan yang lalu. Aku menerimanya karena aku merasa telah lama mengenalnya. Aku merasa cintaku telah tertambat pada hatinya. Setiap aku bersamanya, kudapati cintaku semakin besar padanya. Untuk itu aku sama sekali tak ragu untuk anggukkan kepalaku saat ia meminangku. Lantas bagaimana dengan Kato?

Sayup aku melihat seseorang yang sangat aku kenal berjalan ke arah pelaminan. Tak begitu jelas karena aku terhalang tamu yang bergilir bersalaman denganku. Hingga…. Kato?!Kamu selamat. Ia kini telah berada tepat di depanku dan suamiku. Ia mengulurkan tangannya menjabat tanganku. Waktu seakan terhenti. Kulihat matanya tampak begitu bahagia. Matanya, namun aku takkan pernah tahu rasa apa yang menyulam hatinya. Maafkan aku Kato.

“Selamat ya Euis. Semoga kamu bahagia. Doakan aku juga bahagia.” Ucapnya dengan logat bahasa Indonesia yang terbata, pelan namun jelas terdengar di telingaku. Maafkan aku Kato. Aku mencintai Indra. Dan aku harus jujur untuk masalah cinta. Kato melepaskan tangannya.

Siapa ini? Seorang gadis Jepang menyodorkan tangannya menjabat tanganku setelah giliran Kato usai. Siapa kamu?

“Selamat ya Euis, Aku Sayaka. Calon istri Kato.” Ucap gadis jepang ini dengan terbata-bata. Ups, calon istri Kato?

Aku melirik ke arah Kato berdiri. Tampak ia tersenyum di sana. Ia angkat kedua ibu jarinya di depan dada. Lalu gadis Jepang itu segera mendekat ke arahnya. Dan tersenyum kepadaku. Aku balas senyum keduanya.

“Sayang, kamu lihat apa? Berani ya lirik-lirik pria di samping suaminya.” Ucap suamiku menggodaku. Aku balas cubit manja pinggangnya. Aww…. Teriak manjanya membuat tamu yang mendengar tertawa. Kamipun tertawa. Banyak tawa di malam itu, meski di luar hujan turun tiada jemu.
               
               


Minggu, 09 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #10 #hadiah


PICISAN UNDANGAN

Aku hanya korban cinta sesaat tanpa mencecap benar dari apa arti cinta sebenarnya. Buru-buru untuk segera mereguk manisnya dan terlalu ceroboh untuk melabuhkan hati kepada seseorang yang sebenarnya tidak aku cintai.. Aku tak mencintai dirinya. Cintaku telah tertambat lama kepada hati yang kini entah milik siapa. Di luar sana.

Hingga suatu kali aku mendapat email dari temanku mengabarkan jika teman terdekat kami meninggal akibat melahirkan. Aku menangis sejadinya. Ren adalah teman terbaikku. Di SMA, dia teman sebangkuku. Kami memang telah lama tidak bersua atau sekedar berkirim email. Aku terlalu sibuk dengan kuliahku di Sidney, dan terakhir kudengar ia menikah. Sejak itu aku benar-benar kehilangannya.

Mendung di langit berkumpul membentuk pola di atas pusara Ren. Langit ikut menangis atas kematiannya. Namun, ternyata tak hanya itu yang bisa memikat mataku untuk tetap di upacara pemakaman ini. Ada satu lagi hal, seseorang tepatnya yang membuatku seperti tak hendak segera pergi dari tempat ini. Fath ada di sana, hati yang telah memenjara cintaku selama ini. Fath berdiri di depan pusara Ren. Matanya sembab. Kenapa?

Itu cerita setahun yang lalu saat aku menemukan kembali seorang Fath, hati yang telah lama memenjara cintaku. Ren seperti menghadiahkannya padaku, sahabat terbaiknya. Atau ia sengaja. Ia pergi agar aku bisa bersama Fath. Mungkin.

Tak biasanya Fath mengajakku makan malam di tempat yang super mewah. Aku tahu gajinya berapa. Ada apa gerangan hingga ia nekat mengajakku ke tempat yang bisa mengeruk separuh gajinya hanya dalam sekali kunjung ini. Atau mungkin karena ia terlalu bersuka atas hadiah kejutan yang aku kirim ke kantornya pagi tadi. Surat ceraiku sudah terbit. Tak sanggup aku menunggu lama untuk tidak segera mengabarkannya kepada Fath. Apa benar karena itu?

Pria tampan itu akhirnya datang. Senyumnya selalu mampu menarikku ke dalam renjana cintanya. Ia terlalu manis untuk ukuran seorang duda. Tapi bagiku status bukan sebuah masalah. Bukankah aku juga seorang yang sudah pernah menikah. Sama seperti dirinya.

Kulihat di tangannya sebuah amplop berwarna ungu kombinasi merah jambu. Undangan sepertinya. Ia duduk di depanku. Menyodorkan benda yang tadi di genggamnya. Benar. Undangan. Entah mengapa, air mataku segera jatuh tanpa kuasaku. Apa maksudmu Fath? Setelah perjuanganku selama ini. Isakku berubah tangis. Pria itu terlihat bingung.

“Vi, tunggu. Ini undangan kita berdua. Aku yang mendesainnya sendiri. Mengapa engkau lari?”

Aku berhenti, berbalik ke arahnya.

“Ini hadiah untukmu. Aku mau orang-orang tahu jika kita saling mencinta. Kamu bersedia menikah denganku bukan.”

Fath...... Aku menciumnya. Tak mau aku lepas.


Sabtu, 08 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #9 #jendela


PENYANYI IDOLA

Sabtu pagi telah menyambut hatiku yang kelabu. Kulihat dari jendela anak-anak sudah pikuk di luar sana. Seharusnya begitu pula aku. Bahagia, bercengkrama bersama. Hari ini sesuai jadwal yang di rencanakan, tuku buku seberang rumahku telah di buka. Diskon besar di gelar sambut buka perdana. Seharusnya aku di sana. Bahagia, bercengkrama bersama. Nikmati diskon yang super gila. 

Hari ini telah lama aku tunggu. Aku sudah menabung untuk itu. Semuanya demi buku yang aku idamkan. Sebuah buku biography artis idolaku. Seorang penyanyi favoritku. Namun apa yang aku dapat sekarang. Terkungkung dalam kamar dan hanya bisa memandang toko buku di seberang. Andai aku bisa tinggalkan kamar ini sekarang.

Aku jadi gila. Aku teriak-teriak keluar jendela. Kulihat satu temanku keluar dari toko buku dengan membawa tas bergambar penyanyi favoritku. Sekarang ia acung-acungkan bukunya ke arahku. Aku hanya bisa cemburu. Ia tampak puas melihatku. Damn you!!

Seandainya saja aku kemarin tidak berlebihan bercandanya, sekarang aku pasti bisa di sana. Bahagia, bercanda bersama. Menikmati diskon gila. Membeli buku idolaku. Penyanyi favoritku. Namun ini konsekuensi. Ini tanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Aku sudah beranjak dewasa sekarang. Aku harus bisa bertanggungjawab atas apa yang telah aku lakukan. Ah, seandainya saja aku kemarin tidak berlebihan bercandanya, pasti adikku baik-baik saja. Bukan seperti sekarang ini. Ia tergolek tak berdaya. Kakinya patah akibat jatuh dari tangga. Aku dorong. Tidak sengaja. Konsekuensinya, aku harus merawat dan menjaganya selama ayah bekerja. Untung musim libur. Jadi kami tak perlu alpha. Aku tidak terlalu peduli. Yang aku khawatirkan adalah buku idolaku di depan. Bagaimana jika nanti aku kehabisan. Aku akan sangat menyesali akibat dari perbuatanku ini.

Aduh kenapa papa belum pulang juga. Bukannya ini hari sabtu. Bukankah seharusnya papa pulang lebih awal. Tadi ia telpon sih, mau pulang telat, tapi kan tidak sampai malam begini. Lalu bagaimana dengan buku idolaku di depan. Bagaimana jika aku kehabisan. Bagaimana?

Tingtung...tingtung.....suara bel dari bawah. Itu pasti papa. Segera aku berlari menyambutnya. Aku membuka pintu dan langsung pamit kepadanya.

“Papa, aku ke depan. Ke toko buku.”

Aku ternganga. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Rak itu telah kosong. Tuh kan, benar aku kehabisan. Mataku sembab seketika. Apa yang aku khawatirkan menjadi kenyataan. Aku tidak bisa mendapatkan buku idolaku. Penyanyi favoritku.

Aku pulang berjalan gontai. Hari liburku ke depan pasti tak akan menyenangkan. Tanpa buku idolaku. Penyanyi favoritku. Air mata ini tetap terus jatuh perlahan. Menemani diriku sepanjang jalan.

“Dita, kamu ini kenapa? Lari-lari begitu.” sambut papaku.

Aku masih terdiam hingga aku mendapati wajah yang amat aku gemari.

“Kenalkan, Tante Diana.”

Aku ternganga. Tokoh idolaku, penyanyi favoritku berdiri di depanku. Seperti mimpi saja rasanya. Apakah ini nyata?

“Tante Diana ini teman papa saat SMA. Teman almarhum mama kamu juga.” papa menjelaskan.

Aku masih terdiam. Masih bertanya apakah ini nyata. Aku masih ternganga. Aku berdiri di depan idolaku, penyanyi favoritku. Tetap aku diam membisu, pun saat ia kini telah duduk di depanku.

“Kok diam begitu. Duduk sini dong di sebelah mama.”

“Mama?”

“Iya, mama. Papa belum pernah cerita ya? Bulan depan tante mau menikah dengan papa Dita.”

Mataku gelap. Kepalaku berat. Aku pingsan.


Jumat, 07 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #8 #pesan


PESAN TULIP

                Berkali sudah aku aku kecewa. Saat setahun terakhir ini aku melaluinya masih tanpa dirimu. Berkali pula aku menunggu. Tapi tak sekalipun ada suaramu. Katanya kamu akan menelpon. Hanya sekedar untuk mengejutkanku. Tapi mana janjimu. Apakah kamu tidak tahu. Di sini aku masih menunggu. Apa kau lupa janjimu. Apa kau lupa pesanku.

                Kulihat dari jendela ruang tempat aku bekerja. Bulan tersenyum kelu melihat wajahku. Wajahku memang tak seceria dulu. Saat setahun ini aku melaluinya masih tanpa dirimu. Katanya kamu akan berkirim surat. Sekedar untuk melepas rindu. Jangankan surat, pesan pendekpun tak pernah sampai padaku. Hey, apakah kamu tidak merasakanku. Aku di sini masih menunggu. Apa kau memang telah lupa janjimu, lupa pesanku.

                Angin menari riang seolah mengejekku sepanjang jalan. Berjalan seorang diri di paruh malam benar-benar tak membuatku nyaman. Tetapi inilah yang harus kulakukan. Aku harus berjalan. Hemat pula. Kantor dan rumahku tak terlalu jauh jaraknya. Aku tak boleh manja.  Begitupun, ini kan karena kamu. Sehingga aku berada di kantor itu. Aku menerima pekerjaan ini karena kamu telah berjanji. Suatu hari kamu akan meneleponku jika sudah malam. Itu janjimu beberapa tahun silam. Atau, kamu memang telah lupa janjimu, lupa pesanku.

                Atau, aku harus terima kenyataan. Bahwa dirimu telah jauh berada di seberang lautan. Aku bukanlah gadis bodoh yang bisa di perdaya cinta. Sehingga aku harus nekat menyusulmu ke sana. Tak mau aku. Untuk apa juga? Di sini masih banyak pria tampan sepertimu. Masih banyak yang berkata cinta kepadaku. Tapi bodohnya aku menolak semuanya. Ah, karena kamu. Apakah kamu masih tak tahu. Di sini aku tetap menunggu. Atau benar kau telah lupa janjimu, lupa pesanku.

                Hari-hari terus berlalu. Tidak peduli sedikitpun tentang diriku. Ternyata, di sini aku masih menunggu. Menebak setiap dering telpon bahwa itu darimu. Dan lagi-lagi aku harus kecewa. Karena tak sekalipun aku temui suaramu di sana.

                Hingga…

                “Vi, ada telpon dari rumahmu. Sepertinya penting.”

                Aku berlari sekencang-kencangku. Tak peduli lagi berpuluh mata yang memandangku. Apa mereka juga peduli tentang perasaanku. Saat setahun terakhir ini aku melaluinya tanpa dirimu.

                Langkahku terhenti di muka pintu. Tak percaya aku melihatnya. Aku coba menahan tapi tak mampu. Air mata ini terlalu deras melaju.

                Kupeluk erat lelaki itu, lelaki yang setahun ini tak menelponku. Lelaki yang datang malam-malam membawakan oleh-oleh bunga Tulip pesananku. Tapi sepertinya, sekarang aku tak menginginkan lagi Tulip itu. Yang aku mau lebih dari sekedar bunga. Aku mau dia.

                “Maafkan aku tak bisa telpon ya. Tapi aku tak lupa janjiku. Aku tidak lupa pesanmu. Ini pesanan kamu, Sayang.”

                “Aku tak mau Tulip, aku mau kamu.”