MENGANTAR MAYA
Perih
terasa setiap kuulang adegan ini. Babak hidupku yang selalu mengulang. Rutinitas menyakitkan yang
selalu terampil mengiris hati ini tipis-tipis. Pedih.
Kulihat
dirinya perlahan menghias wajahnya dengan rona-rona. Menyapukan tipis kuas
bulat menggembung itu ke muka pipinya. Lantas melaburkan gincu merah kepada
bibirnya. Sebenarnya kamu tak perlu menambahkan ini itu. Kamu sudah cantik apa
adanya di dalam mataku.
Aku
masih duduk terdiam memandang wajahnya yang perlahan berubah. Tertutup hias dunia
yang kurasa malah menutup kecantikan abadinya. Dia masih saja mematut diri di depan
cermin berbingkai kayu jati berwarna coklat itu. Seperti tak menghiraukankku.
Entah
berapa lama lagi aku harus menunggu. Menunggu dirinya untuk menjadi milikku. Menunggu
waktu bersuci memeluk diriku. Mengembalikanku ke jalan yang benar, bersamanya.
“Pram!”
Aku
tergagap dengan reflek kaki menginjak pedal rem dalam-dalam. Di depanku sudah
berdiri sebuah gardu listrik dengan sombongnya. Jantungku berdegup sangat
kencang. Lalu, kurasakan sebuah benda menghantam badanku.
“Kamu
mau bunuh diri ya?!” bentaknya seraya menarik tasnya dari badanku.
“Maaf
May.”
“Maaf!
Maaf!, kalau sampai nabrak kita bisa
mati tahu!” hardiknya.
“Maaf
tuan putri, aku sedang kurang enak badan ini.”
“Kalau
nyetir jangan melamun dong. Lagian, kamu ngelamunin
apa sih?”
Aku
menggeleng. Dia masih tampak kesal.
Kembali
kulajukan mobil ini ke tempat tujuan. Kepalaku serasa pecah. Mengapa aku
kembali melakukan ini.
Maya
segera turun begitu mobil ini berhenti.
“Ingat
ya Pram, hubungan kita hanya sebatas artis dan manager. Tidak lebih. Jangan hanya karena aku mau bercinta denganmu
lalu otomatis aku menjadi pacar kamu. Lagi pula kamu kan yang membawaku ke
tempat seperti ini. Terima sajalah kalau kamu itu masih seorang mucikari. Jadi
tidak usah sok suci.”
Kulihat
mata gadis itu berkaca-kaca. Ada perih yang tampak jelas tergambar di matanya.
Perih yang aku sebabkan. Luka yang aku buat ketika pertama kali aku
memperkenalkan duniaku kepadanya.
Dari
jauh, kulihat Maya telah duduk di depan pelanggannya. Seorang pria paruh baya
yang menjadi langganan Maya. Aku yang memperkenalkan dia kepadanya. Perkenalan yang
membuatku menyesal hingga kini.
Tuhan,
bisakah aku berhenti?
sketch belong to : leadhead60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar