(BUKAN) CENAYANG
Aku selalu tak
habis pikir dengan apa yang telah terjadi padaku setahun belakangan ini. Aku tidak
bisa barang sedetikpun untuk untuk tidak melamunkannya. Saat aku terjaga, aku
mengingatnya. Saat aku terlelap, aku impikan dia. Ahh, kemana Rayi Playboy yang
dulu. Kemana bocah bengal yang suka main perempuan itu. Mati. Mungkin.
Hatiku seperti
terjatuh dalam genangan cinta ini. Terjerembab dan sulit untuk bangkit. Namun aku
menikmatinya. Aku menikmati setiap detik kasmaranku kepadanya. Aku terlalu menyukai
gadis itu. Gadis yang setahun lalu bertemu di pantai ini. Di sini. Di atas
tebing curam ini. Gadis yang pemberani. Padahal ketika itu aku menyangka dia
akan berbuat bodoh. Lompat ke bawah misalnya. Ahh, goblognya aku. Mengapa begitu naif. Memangnya gadis yang berdiri di
tebing tinggi harus selalu akan bunuh diri. Dasar dangkal.
Lalu, saat
pertama kudengar suaranya. Bagai entah seperti suara merdu yang belum pernah ku
dengar sebelumnya. Merdu mendayu. Bisikkan pembuluh rindu. Akupun terpesona. Hingga
kami bisa renyah berbincang dan entah darimana dia seperti tahu siapa aku. Seorang
player yang telah banyak menipu. Menipu gadis-gadis baik. Ahh, kamu seperti
cenayang saja. Bisa membaca apa yang orang lain tak bisa.
“Aku bukan
cenayang.” Bisiknya lembut di telingaku. Aku hanya wanita biasa yang dikirim
untuk menghentikanmu. Begitu lanjutnya. Ahh, aku rela berhenti untukmu. Kamu,
terlalu sempurna. Sepertinya aku jatuh cinta. Playboy jatuh cinta? Ya. Aku. Aku
akan berhenti, dan menambatkan perahu hatiku berlabuh di dermaga cintamu.
“Belum lama
kan Ray?”
Suara merdu
itu muncul dari arah belakang. Aku telah sangat mengenalnya. Rara, gadis jelita
penawan hatiku.
Segera aku
berbalik, merengkuhnya dalam pelukku. Menciumnya dengan hebat seakan ini saat
terakhir untuk bertemu.
“Hey... easy,
Boy.”
Dia tersenyum.
Kami berdiri berhadap-hadapan. Ahh, matanya. Sekarang aku benar-benar telah
terpenjara.
“Kamu siap,
sayang?”
“Kapanpun kamu
meminta.”
“Kamu siap
berhenti, dan benar-benar mengakhiri petualangan cintamu.”
“Iya sayang. Kamu...
kamu seperti cenayang saja. Selalu tahu apa yang ada dalam pikiranku. Aku akan
berhenti. Mengakhiri petualangan cintaku. Di kamu.”
“Kamu itu ya,
selalu saja bilang aku cenayang. Aku bukan cenayang. Aku Rara. Rara Kembang
Mayang.
“Rara? Rara
Kembang Mayang? Siapa itu, sayang?”
“Aku. Aku yang
telah kamu ijinkan untuk menghentikanmu. Mengakhiri hidupmu. Bukankah aku sudah
bilang pada awal kita bertemu. Aku dikirim untuk menghentikanmu.”
Aku samar
mendengar kalimat terakhir yg di ucapkannya. Seperti ada benda tajam yang menembus
di dada, merobeknya hingga tembus jantungku. Tiba-tiba aku gemetar, lemas,
darah meruah dari dadaku. Kulihat dia tertawa. Entah apa maksudnya.
Aku semakin
tersungkur. Penglihatanku mulai mengabur. Kudengar samar ia berbisik, “Aku
bukan cenayang. Namaku Rara si Kembang Mayang. Aku dikirim untuk
menghentikanmu.”
Gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar