^^

Rabu, 24 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D8


MEMILIH PUTIH

Entah sejak kapan aku suka dengan semua yang berwarna putih. Salah. Aku tidak lagi suka. Aku lebih dari itu. Aku terobsesi. Aku tergila-gila dengan semua yang berwarna putih. Bahkan, aku rela membayar mahal dokter cabul yang berpraktek di ujung gang agar gigiku putih mengkilat. Lalu aku tak segan untuk setiap hari cerewet kepada pembantu-pembantuku agar semua benda-benda putihku tetaplah bersih, terbebas dari debu.
Lain diriku lain pula kakak perempuanku. Kakak semata wayangku ini menyukai warna ungu. Warna yang menurutku sendu, kuyu, tanpa semangat. Hanya muram dan kesedihan yang menaunginya. Aku tidak suka. Sama tidak sukaku kepada kakakku. Apalagi nenekku lebih sayang kepada kakakku. Namun apa boleh buat. Tradisi masih mengikat agar yang muda lebih hormat kepada yang lebih tua. Harus nurut, patuh dan tidak melawan. Sebagai anak yang sopan, semua aku laksanakan.
Suatu hari, kami berdua di panggil nenek ke ruang tengah. Adakah gerangan serius yang membuat nenek memanggil kami di tengah butanya pagi. Mata kami mengerjap-kerjap melawan kantuk. Gigi bergemerutuk menahan dingin pagi. Badanpun menggigil.
Nenek sudah duduk manis di kursi malasnya menunggu datangnya kami berdua. Kami duduk di depan nenek dengan masih memaksa mata untuk membuka. Sesekali dua kali aku menguap. Nenek cerita panjang lebar dan aku tidak bisa begitu serius mendengar. Aku masih ngantuk.
Hingga, nenek mengeluarkan sebuah kotak kayu besar dan membukanya. Mataku langsung membelalak melihat kilatan benda putih yang langsung memikat hatiku. Tiga buah belati perak ini seperti tersenyum kepadaku. Aku langsung jatuh cinta. Tak tahan aku ingin menjamahnya.
“Tunggu sebentar, hati-hati dengan benda ini. Benda-benda inilah yang bisa membunuh kalian.” Ucap nenekku.
“Maksud nenek?” Kakakku antusias bertanya.
“Tiga belati Brutus dan sebuah keris Kencana Wungu ini jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kalian putri-putri Madangkara yang tercipta abadi akan mati jika tergores benda-benda sakti ini.” Urai nenek panjang lebar.
Lalu meminta kami untuk memilih. Jelas aku memilih belati-belati itu. Warna putih peraknya yang mengkilat langsung menawan hatiku. Kakakpun suka dengan pusaka kerisnya. Bilah keris bertahta batu-batu kecubung ungu itu begitu memukau matanya.
“Nenek, boleh aku bertanya? Darimana asal belati-belati ini?”
“Kamu tidak perlu tahu. Yang pasti, jangan sampai terluka oleh benda-benda pusaka itu. Karena hanya benda-benda inilah yang bisa melukai kita, keturunan Madangkara.”
Kami berdua manggut-manggut.
“Kenapa tidak kita musnahkan saja benda-benda ini, Nek?” kata kakakku.
“Susah, untuk memusnahkan kesaktiannya benda-benda ini minta tumbal. Darah dan nyawa lelaki Pengging.”
“Ya kita cari, Nek.” Ucapku.
“Tidak segampang itu. Apalagi benda-benda ini akan bertambah sakti jika berhasil membunuh trah kita. Akan semakin sulit untuk di musnahkan. Namun yang pasti, selain mengancam nyawa kita, benda-benda ini juga sangat berguna. Karena pusaka-pusaka ini membuat pemiliknya bertambah kuat dan hebat.”
“Begitu ya, Nek.”
Aku berdiri dan bermain-main dengan belati perak ini. Aku mengayun-ayunkannya. Dan,...
Jleb!
Belati itu menancap tepat di jantung nenekku. Nenek mati seketika tanpa berucap sepatah katapun. Aku tersenyum. Kakakku diam terkagetkan.
Kini, kekuatan nenek telah di serap belati ini. Dan belati ini telah menjadi milikku. Aku pasti bertambah sakti sekarang.

Painting belong to Whidbey Island Sketchers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar