MEMILIH PUTIH
Entah sejak
kapan aku suka dengan semua yang berwarna putih. Salah. Aku tidak lagi suka. Aku
lebih dari itu. Aku terobsesi. Aku tergila-gila dengan semua yang berwarna
putih. Bahkan, aku rela membayar mahal dokter cabul yang berpraktek di ujung
gang agar gigiku putih mengkilat. Lalu aku tak segan untuk setiap hari cerewet
kepada pembantu-pembantuku agar semua benda-benda putihku tetaplah bersih,
terbebas dari debu.
Lain diriku
lain pula kakak perempuanku. Kakak semata wayangku ini menyukai warna ungu.
Warna yang menurutku sendu, kuyu, tanpa semangat. Hanya muram dan kesedihan
yang menaunginya. Aku tidak suka. Sama tidak sukaku kepada kakakku. Apalagi
nenekku lebih sayang kepada kakakku. Namun apa boleh buat. Tradisi masih
mengikat agar yang muda lebih hormat kepada yang lebih tua. Harus nurut, patuh dan tidak melawan. Sebagai anak
yang sopan, semua aku laksanakan.
Suatu hari,
kami berdua di panggil nenek ke ruang tengah. Adakah gerangan serius yang
membuat nenek memanggil kami di tengah butanya pagi. Mata kami mengerjap-kerjap
melawan kantuk. Gigi bergemerutuk menahan dingin pagi. Badanpun menggigil.
Nenek sudah
duduk manis di kursi malasnya menunggu datangnya kami berdua. Kami duduk di
depan nenek dengan masih memaksa mata untuk membuka. Sesekali dua kali aku
menguap. Nenek cerita panjang lebar dan aku tidak bisa begitu serius mendengar.
Aku masih ngantuk.
Hingga, nenek
mengeluarkan sebuah kotak kayu besar dan membukanya. Mataku langsung membelalak
melihat kilatan benda putih yang langsung memikat hatiku. Tiga buah belati
perak ini seperti tersenyum kepadaku. Aku langsung jatuh cinta. Tak tahan aku
ingin menjamahnya.
“Tunggu
sebentar, hati-hati dengan benda ini. Benda-benda inilah yang bisa membunuh
kalian.” Ucap nenekku.
“Maksud nenek?”
Kakakku antusias bertanya.
“Tiga belati
Brutus dan sebuah keris Kencana Wungu ini jangan sampai jatuh ke tangan orang
lain. Kalian putri-putri Madangkara yang tercipta abadi akan mati jika tergores
benda-benda sakti ini.” Urai nenek panjang lebar.
Lalu meminta
kami untuk memilih. Jelas aku memilih belati-belati itu. Warna putih peraknya
yang mengkilat langsung menawan hatiku. Kakakpun suka dengan pusaka kerisnya.
Bilah keris bertahta batu-batu kecubung ungu itu begitu memukau matanya.
“Nenek, boleh
aku bertanya? Darimana asal belati-belati ini?”
“Kamu tidak
perlu tahu. Yang pasti, jangan sampai terluka oleh benda-benda pusaka itu.
Karena hanya benda-benda inilah yang bisa melukai kita, keturunan Madangkara.”
Kami berdua manggut-manggut.
“Kenapa tidak
kita musnahkan saja benda-benda ini, Nek?” kata kakakku.
“Susah, untuk
memusnahkan kesaktiannya benda-benda ini minta tumbal. Darah dan nyawa lelaki
Pengging.”
“Ya kita cari,
Nek.” Ucapku.
“Tidak
segampang itu. Apalagi benda-benda ini akan bertambah sakti jika berhasil
membunuh trah kita. Akan semakin sulit untuk di musnahkan. Namun yang pasti,
selain mengancam nyawa kita, benda-benda ini juga sangat berguna. Karena
pusaka-pusaka ini membuat pemiliknya bertambah kuat dan hebat.”
“Begitu ya,
Nek.”
Aku berdiri
dan bermain-main dengan belati perak ini. Aku mengayun-ayunkannya. Dan,...
Jleb!
Belati itu
menancap tepat di jantung nenekku. Nenek mati seketika tanpa berucap sepatah
katapun. Aku tersenyum. Kakakku diam terkagetkan.
Kini, kekuatan
nenek telah di serap belati ini. Dan belati ini telah menjadi milikku. Aku
pasti bertambah sakti sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar