BIYAN ATAU BIANCA
“Ini saja, Misteri
Pembunuhan Biyan dan Bianca.”
“What?! Buku apa sih
itu, Yang. Serem gitu. Siapa yang ngarang sih.”
Pemuda itu tertawa
mendengar reaksi dari kekasihnya.
“Ini
kan cuma fiksi, Sayang.”
“Iya,
fiksi. Tapi ‘kan serem. Kok bisa sih judulnya begitu. Nyebut-nyebut
namaku dan Bianca.”
Pemuda
itu kembali tertawa.
Sepasang
muda-mudi itu terlihat asyik bercengkrama. Mereka tertawa-tawa tanpa
menyadari bahwa dari sudut lorong rak buku sebelah mereka, dua pasang
mata mengawasi.
“Jadi,
siapa yang harus aku singkirkan, Mbak. Dia itu Biyan atau Bianca.”
“Aku
tidak peduli, Dik. Yang pasti, setiap perempuan yang mencoba
mendekati Raka harus mati. Hanya aku yang boleh memilikinya.”
“Iya
aku ngerti. Tapi aku kan harus tahu. Siapa gadis itu. Biyan atau
Bianca. Ah, wajah mereka terlalu mirip. Dasar kembar sialan.”
“Ah,
sudahlah. Adik coba dulu saja.”
“Sekarang?
Di sini? Di toko buku ini? Mbak becanda deh.”
“Ayolah,
Dik. Coba saja. Aku ingin dia cepat mati.”
“Baiklah
jika begitu keinginannmu, Mbak."
Kemudian,
gadis yang dipanggil adik oleh gadis satunya itu mengeluarkan kertas.
Melipat-lipatnya membentuk serupa manusia. Lalu matanya terpejam.
Entah apa yang akan ia lakukan.
Sementara
itu, di sudut lain toko buku ini, seorang pemuda dengan belati di
tangannya juga sedang mengamati Raka dengan gadisnya. Sorot matanya
tampak begitu membenci sepasang anak manusia itu.
“Pokoknya,
Raka tidak boleh bahagia. Enak saja.” Gumam pemuda berbelati itu.
Dia
terus mengawasi Raka dan gadisnya sambil berpura-pura memilih-milih
buku yang tersusun rapi di rak-rak buku kayu itu.
Raka
dan kekasihnya masih saja bercanda dan tertawa. Hingga di depan
kasir, tiba-tiba hidung gadisnya mengeluarkan darah.
“Loh,
sayang mimisan.”
Raka
segera mengambil sapu tangannya dan berusaha membersihkan darah itu.
Namun kemudian tubuh sang gadis kejang-kejang. Darah semakin deras
mengalir dari hidungnya. Kemudian dari mulutnya. Toko buku itupun
geger.
Dua
pasang mata melihat kejadian itu dengan wajah sumringah. Satu
diantaranya malah terlihat begitu menikmati. Mereka tersenyum
kemudian meninggalkan toko buku itu dengan raut muka bahagia.
Sementara,
Pemuda berbelati melihat kejadian itu dengan terheran-heran.
“Wow,
ternyata Tuhan berpihak padaku. Baguslah.” Pemuda itupun tersenyum.
Toko
buku semakin gaduh.
Sketch belong to Wayne B. Medina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar