SIAPA SELINGKUH SIAPA
Gelap mulai
merapat. Temaram cahaya lampu kafe ini tak bisa menyamarkan mata sembabku. Pun,
dengan make-up hasil salon
langgananku. Mereka semua kalah dengan sedihnya mata yang membengkak ini.
Aku masih
sibukkan jemariku dengan tombol-tombol smartphoneku
memainkan game favoritku. Sekedar untuk
menghapus gundah yang menggayutiku sekarang. Aku di sini menunggu seorang pria brengsek.
Namun aku mencintainya. Aku sudah bersamanya hampir lima tahun lamanya. Dan,
sudah setahun belakangan ini kami telah serumah. Kumpul kebo. Kami belum
menikah. Untuk apa, pikirku. Kita cukup bahagia dengan keadaan yang begini. Cukup.
Hingga,
kemarin dengan mata kepala sendiri aku mendapatinya tengah makan malam di
restoran paling mahal di kota ini. Candle
light dinner. Siapa yang tidak panas coba. Ditambah dengan dirinya yang
menyangkal kelakuannya ketika kutanya sesampainya di rumah. Namun, seketika
bibirnya membisu saat aku tunjukkan foto-foto bukti perselingkuhannya. Bah! Dasar
brengsek!
Waktu seakan
berjalan melambat menuju pukul tujuh. Kenapa dia belum datang. Kita berjanji
menyelesaikan semuanya malam ini. Di sini. Di tempat di mana dia memintaku
menjadi belahan jiwanya. Shit! Jika ingat saat itu dan mendapati kenyataan
sekarang aku langsung mual. Ingin segera muntah. Muntah ke mukanya.
Jam tujuh
lewat lima menit, pria tinggi tegap berdada bidang memakai setelan rapi itu telah
berdiri beberapa langkah di depanku. Di belakangnya berdiri sok manis perempuan
yang akan menghancurkan masa depanku
itu. Damn, ingin rasanya mencakar
perempuan sundal ini. Mengapa dia juga datang. Kepalaku langsung mendidih,
untung hati mengingatkan untuk tetap tenang. Aku tidak mau berbuat kampungan di
depan wanita kampung itu. Ya, dia berasal dari desa. Aku sudah menyelidikinya.
Aku harus bersikap datar dan tenang.
“Belum lama
menunggu, bukan?” ucapnya.
Aku tidak
menyahut. Aku duduk kembali ke kursiku. Dia duduk di depanku. Perempuan jalang
ini duduk di sampingnya. Bangsat!! Tenang... Tenang... Nadia, kamu gadis berpendidikan, wanita metropolis yang tahu adab.
Jangan terbawa emosi.
Namun ternyata
air mata ini tidak mau berkompromi. Ternyata perih lukaku ini terlalu kuat
berontak.
Dia berdiri
mendekat ke arah ku. Menghapus air mataku dengan tissue.
Aku berdiri. Tak
tahan rasanya memendam sesak di dalam dada. Persetan dengan gadis
berpendidikan. Persetan dengan wanita metropolis yang tahu adab. Amarah ini
rasanya sudah di ujung ubun.
Lantang aku
berteriak, “Kamu pilih aku atau dia?!” sembari menunjukkan telunjukku ke arah
perempuan sialan itu.
Dia terdiam.
“Kamu pilih
aku atau dia?!” Kuulangi pertanyaanku, kali ini dengan tinggi nada dua kali
lipat. Sontak, meja kami menjadi pusat perhatian tamu-tamu restoran yang lain.
“Kamu duduk
dulu, Nadia. Aku akan menjelaskan semuanya.”
“Apa yang
harus di jelaskan, Dit?!” Ucapku, kali ini dengan isak tangis. Kulirik perempuan
hina itu. Masih terdiam. Sepertinya dia senang dengan keadaanku sekarang. Hatinya
mungkin tertawa. Damn!
Aditya
mendudukkanku kembali ke kursiku. Dia kembali duduk di kursinya.
“Nadia, aku
benar-benar minta maaf.”
“Maaf?! Untuk perselingkuhanmu
ini? Untuk pengkhiatanmu ini? Kamu jahat, Dit. Kamu jahat. Jadi sekarang,
putuskan! Kamu pilih aku atau dia?” Ucapku memberinya pilihan.
Aditya
terdiam.
Emosi aku
siramkan air putih dalam gelas ini ke wajahnya.
“Brengsek
kamu!!”
Aditya
memandang wajahku lekat. Menatap mataku dalam-dalam. Perlahan dia mulai
berucap, “Dia istriku, Nadia.”
“Apa?!” Aku
mendengarnya samar.
“Dia istriku,
Nadia. Istri sah ku sejak sepuluh tahun yang lalu.”
Apa?!...
Jadi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar