^^

Senin, 22 Oktober 2012

#15HariNgeblogFFDadakan #D6

SEKARANG ATAU 19 TAHUN LAGI
Kota tua ini masih tetap sama untukku. Begitu tenang dan mendamaikan. Aku tak peduli lagi dengan apa yang menjadi kewajibanku. Aku sudah lelah sebenarnya. Selalu saja harus mematuhi perintahnya. Kodrat yang harus aku lakukan sepanjang hidupku. Yang entah kapan akan berhenti.
Kulihat dari jauh, tampak pemuda itu telah duduk manis di kursi taman tempat kami terbiasa bertemu di sini. Ia juga masih sama bagiku. Begitu tenang dan mendamaikan.
“Hai, apa kabar.” Tanyanya malu-malu.
“Baik.” Aku menjawab singkat.
Dasar anak manusia, tampak malu hanya pada awalnya. Namun setelahnya begitu terlihat bersemangat. Namun, aku padamu begitu memuja. Entah apakah ini yang disebut cinta. Aku begitu hanyut kepadamu. Suara merdumu menggetarkan hatiku. Tak pernah aku merasakan sebelumnya. Apakah benar ini yang disebut cinta.
Dingin malam kota tua ini seolah merestui pendar-pendar sejuk hawa cinta yang keluar. Kamu merapatkan tubuhmu kepadaku. Aku tak bergerak. Pun ketika bibirmu menyentuh bibirku. Aku tak bergerak. Entah apa yang terjadi. Aku merasakan nikmat begitu hebat.
Penguasa langit, begitu sempurnakah Kamu menciptakan seorang manusia. Mengapa ia tercipta begini hebatnya. Sanggup memberiku gambaran arti sebuah cinta.
Aku bertanya kepada langit, namun suara itu yang menjawab.
Aku katakan tidak. Tidak. Tidak akan.
Malam begitu cepat merayap. Pemuda ini memintaku untuk pulang ke rumah. Tak baik katanya, seorang perawan malam-malam masih kelayapan. Oh, begitu sopannya dia. Membuatku semakin jatuh cinta. Dia pamit dan pergi setelah berjanji akan bertemu lagi. Di sini. Di kursi taman kota tua ini.
“Rara, kenapa kamu tidak membunuhnya sekarang?”
Suara itu kembali mengiang. Aku tidak bisa, jawabku.
“Apakah kamu ingin menunggu sembilan belas tahun lagi, Purnama Karebet ini tidak terjadi setiap tahun. Dasar anak bodoh, kejar dan bunuh dia.”
Aku tidak menjawabnya. Aku terus bernyanyi. Mana mungkin aku bisa membunuh orang yang aku cintai.
“Rara, hanya dia keturunan Pengging yang bisa kita temukan.”
Suara itu kembali terdengar. Aku tetap tidak peduli. Lagipula, harus ada alasan untuk aku bisa membunuhnya. Sementara dia adalah pemuda berbudi pekerti yang terpuji. Bagaimana bisa aku melakukannya. Aku kembali memasukkan belati tuaku ke sarungnya. Lalu berlalu bersama hembus dingan angin kota tua. Berharap bertemu dia sekali lagi. Di sini. Nanti.
 Painting belong to Richard Sheppard

Tidak ada komentar:

Posting Komentar