KENANGAN SELASA SORE
Selasa hari ini tetaplah sama. Yang membedakan hanyalah selasa kali ini berhujan terlalu deras. Bahkan berangin. Namun deru angin itu tidaklah mampu menutup teriakan-teriakan yang selama ini aku panggil ayah. Teriakannya kepada Ibu terlalu keras. Mungkin tetangga sebelah bisa mendengarnya.
Sudah sejam lebih Ayah membentak-bentak ibu. Entah apa yang mereka pertengkarkan. Aku tidak begitu jelas mendengar. Hanya teriakan dan teriakan ayah yang menggema. Masuk ke kamarku menyusup di antara celah-celah dinding kamar. Ketika tangis ibu pecah, aku beranikan mengintip dari lubang kursi apa yang sebenarnya telah terjadi di luar.
Ibu terlihat bersimpuh di lantai, sementara ayah masih berdiri tegak. Berkacak pinggang dan sesekali meludah ke arah ibu. Ibu hanya menangis. Sepertinya amarah ayah belumlah reda. Ia menarik ibu berdiri lalu membantingnya ke sofa dan menamparnya berkali-kali. Tak tahan, ku kerahkan semua keberanianku untuk keluar dan membantu ibu semampuku. Tapi ternyata aku terlalu kecil di banding ayah. Ketika aku mulai memukulinya, ia segera menghempaskanku hanya dengan satu tangannya. Aku terlempar jauh. Ibu berteriak sejadi-jadinya. Tampak ia seperti akan menghampiriku, namun ayah kembali menariknya. Dan lagi, menamparnya berkali-kali.
Aku sudah tak tahan lagi melihat ibuku yang tampak begitu tersiksa. Aku pergi ke gudang, mencari kotak antik itu dan mengambil isinya.
Dan…
“Akkhh…!!”
Ayah memekik. Lalu tersungkur tanpa sekalipun berkata lagi. Darah mulai meluber. Belati di tanganku jatuh menggerincing di lantai.
Ibuku hanya diam terpana. Lalu mulai menangis lagi.
“Apa yang telah kamu lakukan, Nak.” Ucapnya.
Aku hanya bisa terduduk lesu ketika pintu terbuka.
Adikku langsung menghambur ke mayat ayah. Tangisnya tak terhentikan.
Sore itu, rumahku bagaikan neraka. Teriakan dan tangisan saling beradu. Entah apakah tetangga sebelah mendengar. Hanya angin kencang dan hujan deras menderu ini yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar