DAHLIA
“Kami
sudah mau tutup, Non.”
Sapa
penjaga toko bunga ini ketika aku baru akan memilih bunga-bunga
dagangannya. Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Sepertinya dia
tidak sadar bahwa maut telah mengintainya. Dia belum tahu siapa aku sebenarnya.
“Mana
temanmu yang satu lagi?”
“Oh,
dia kakakku. Pemilik toko bunga ini. Dia sudah pulang duluan. Ada apa
ya, Non?”
“Oh
tidak ada apa-apa kok.”
“Kita sekarang tutup lebih awal. Sejak G tiga puluh S kemarin, toko
kami menjadi sepi. Kami maklum sih, banyak orang-orang yang takut
keluar rumah. Apalagi banyak jemputan-jemputan misterius itu. Banyak
yang dieksekusi dengan tuduhan terlibat gerakan palu arit itu.”
Urainya
panjang lebar. Aku pura-pura saja menyimaknya.
“Ndak
laki-laki, ndak perempuan pokoknya yang di jemput pasti mati.
Atau malah ada yang dibunuh di tempat. Di rumah mereka sendiri. Ngeri
banget. Negara macam apa ini. Pemimpinnya kok malah menyebar teror.”
Lanjutnya
kemudian. Aku masih memasang senyum dan masih berpura-pura untuk
tertarik dengan ceritanya. Aku terus mengamatinya yang sedang
berkemas-kemas sembari melihat kondisi luar toko untuk memastikan
bahwa tidak akan ada seorangpun yang melihat ketika aku
mengeksekusinya.
Sebetulnya
jika dilihat lama-lama, pemuda ini tampak begitu manis. Lebih tampan
dari sang kakak. Rahangnya yang keras membuat kelelakiannya menjadi
jauh mempesona. Namun sayang sekali napasnya harus berhenti pada
malam ini. Aku hanya melaksanakan tugas. Apa boleh buat.
Kulihat-lihat
lagi belati-belatiku yang mengkilat-kilat mengintip dari dalam tas
tanganku. Sabar ya sayang.
Dheng…
Jam
lemari antik yang berdiri tegak di sudut toko ini berdentang sembilan
kali. Kondisi benar-benar sepi. Mungkin sekarang adalah saat yang
tepat untuk membuatnya mati. Kugenggam kuat-kuat belatiku. Aku
mengambil posisi yang tepat untuk membunuhnya. Ini tidak main-main.
Aku harus melaksanakannya dengan rapi. Satu tikaman dan dia harus
mati.
Dan…
Tiba-tiba…
Kudengar
derap kaki bergerak cepat mendekat. Aku langsung beringsut refleks
sembunyi di balik vas-vas kosong ini. Aku dengar suara pemuda itu
meronta.
“Benar
‘kan, Ndan. Ini Dahlia lima belas?”
“Benar, ciri-cirinya juga sama.”
“Kita
bawa je markas atau…”
“Sudah
lakukan saja di sini.”
Crass…
Ada
sesuatu menggelinding yang tertangkap oleh mataku. Lalu kulihat
seseorang tinggi tegap itu memungutnya. Benda itu menetes-neteskan
darah. Aku hanya terdiam dan mengambil napas dalam-dalam. Huft… aku
terlambat. Ternyata dia juga menjadi target jemputan rupanya. Tahu
begitu aku akan menyudahinya kemarin lusa.
Gerombolan
itu telah pergi. Meninggalkan toko bunga ini bersama sepi. Aku
melangkah keluar. Jalan Dahlia ini telah benar-benar jauh dari
bingar. Apa boleh buat.
Drawing belong to Ten Paces And Draw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar