PICISAN UNDANGAN
Aku hanya korban cinta
sesaat tanpa mencecap benar dari apa arti cinta sebenarnya. Buru-buru
untuk segera mereguk manisnya dan terlalu ceroboh untuk melabuhkan
hati kepada seseorang yang sebenarnya tidak aku cintai.. Aku tak
mencintai dirinya. Cintaku telah tertambat lama kepada hati yang kini
entah milik siapa. Di luar sana.
Hingga suatu kali aku
mendapat email dari temanku mengabarkan jika teman terdekat kami
meninggal akibat melahirkan. Aku menangis sejadinya. Ren adalah teman
terbaikku. Di SMA, dia teman sebangkuku. Kami memang telah lama tidak
bersua atau sekedar berkirim email. Aku terlalu sibuk dengan kuliahku
di Sidney, dan terakhir kudengar ia menikah. Sejak itu aku
benar-benar kehilangannya.
Mendung di langit
berkumpul membentuk pola di atas pusara Ren. Langit ikut menangis
atas kematiannya. Namun, ternyata tak hanya itu yang bisa memikat
mataku untuk tetap di upacara pemakaman ini. Ada satu lagi hal,
seseorang tepatnya yang membuatku seperti tak hendak segera pergi
dari tempat ini. Fath ada di sana, hati yang telah memenjara cintaku
selama ini. Fath berdiri di depan pusara Ren. Matanya sembab. Kenapa?
Itu cerita setahun yang
lalu saat aku menemukan kembali seorang Fath, hati yang telah lama
memenjara cintaku. Ren seperti menghadiahkannya padaku, sahabat
terbaiknya. Atau ia sengaja. Ia pergi agar aku bisa bersama Fath.
Mungkin.
Tak biasanya Fath
mengajakku makan malam di tempat yang super mewah. Aku tahu gajinya
berapa. Ada apa gerangan hingga ia nekat mengajakku ke tempat yang
bisa mengeruk separuh gajinya hanya dalam sekali kunjung ini. Atau
mungkin karena ia terlalu bersuka atas hadiah kejutan yang aku kirim
ke kantornya pagi tadi. Surat ceraiku sudah terbit. Tak sanggup aku
menunggu lama untuk tidak segera mengabarkannya kepada Fath. Apa
benar karena itu?
Pria tampan itu akhirnya
datang. Senyumnya selalu mampu menarikku ke dalam renjana cintanya.
Ia terlalu manis untuk ukuran seorang duda. Tapi bagiku status bukan
sebuah masalah. Bukankah aku juga seorang yang sudah pernah menikah.
Sama seperti dirinya.
Kulihat di tangannya
sebuah amplop berwarna ungu kombinasi merah jambu. Undangan
sepertinya. Ia duduk di depanku. Menyodorkan benda yang tadi di
genggamnya. Benar. Undangan. Entah mengapa, air mataku segera jatuh
tanpa kuasaku. Apa maksudmu Fath? Setelah perjuanganku selama ini.
Isakku berubah tangis. Pria itu terlihat bingung.
“Vi, tunggu. Ini
undangan kita berdua. Aku yang mendesainnya sendiri. Mengapa engkau
lari?”
Aku berhenti, berbalik
ke arahnya.
“Ini hadiah untukmu.
Aku mau orang-orang tahu jika kita saling mencinta. Kamu bersedia
menikah denganku bukan.”
Fath...... Aku menciumnya. Tak mau aku lepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar