^^

Minggu, 09 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #10 #hadiah


PICISAN UNDANGAN

Aku hanya korban cinta sesaat tanpa mencecap benar dari apa arti cinta sebenarnya. Buru-buru untuk segera mereguk manisnya dan terlalu ceroboh untuk melabuhkan hati kepada seseorang yang sebenarnya tidak aku cintai.. Aku tak mencintai dirinya. Cintaku telah tertambat lama kepada hati yang kini entah milik siapa. Di luar sana.

Hingga suatu kali aku mendapat email dari temanku mengabarkan jika teman terdekat kami meninggal akibat melahirkan. Aku menangis sejadinya. Ren adalah teman terbaikku. Di SMA, dia teman sebangkuku. Kami memang telah lama tidak bersua atau sekedar berkirim email. Aku terlalu sibuk dengan kuliahku di Sidney, dan terakhir kudengar ia menikah. Sejak itu aku benar-benar kehilangannya.

Mendung di langit berkumpul membentuk pola di atas pusara Ren. Langit ikut menangis atas kematiannya. Namun, ternyata tak hanya itu yang bisa memikat mataku untuk tetap di upacara pemakaman ini. Ada satu lagi hal, seseorang tepatnya yang membuatku seperti tak hendak segera pergi dari tempat ini. Fath ada di sana, hati yang telah memenjara cintaku selama ini. Fath berdiri di depan pusara Ren. Matanya sembab. Kenapa?

Itu cerita setahun yang lalu saat aku menemukan kembali seorang Fath, hati yang telah lama memenjara cintaku. Ren seperti menghadiahkannya padaku, sahabat terbaiknya. Atau ia sengaja. Ia pergi agar aku bisa bersama Fath. Mungkin.

Tak biasanya Fath mengajakku makan malam di tempat yang super mewah. Aku tahu gajinya berapa. Ada apa gerangan hingga ia nekat mengajakku ke tempat yang bisa mengeruk separuh gajinya hanya dalam sekali kunjung ini. Atau mungkin karena ia terlalu bersuka atas hadiah kejutan yang aku kirim ke kantornya pagi tadi. Surat ceraiku sudah terbit. Tak sanggup aku menunggu lama untuk tidak segera mengabarkannya kepada Fath. Apa benar karena itu?

Pria tampan itu akhirnya datang. Senyumnya selalu mampu menarikku ke dalam renjana cintanya. Ia terlalu manis untuk ukuran seorang duda. Tapi bagiku status bukan sebuah masalah. Bukankah aku juga seorang yang sudah pernah menikah. Sama seperti dirinya.

Kulihat di tangannya sebuah amplop berwarna ungu kombinasi merah jambu. Undangan sepertinya. Ia duduk di depanku. Menyodorkan benda yang tadi di genggamnya. Benar. Undangan. Entah mengapa, air mataku segera jatuh tanpa kuasaku. Apa maksudmu Fath? Setelah perjuanganku selama ini. Isakku berubah tangis. Pria itu terlihat bingung.

“Vi, tunggu. Ini undangan kita berdua. Aku yang mendesainnya sendiri. Mengapa engkau lari?”

Aku berhenti, berbalik ke arahnya.

“Ini hadiah untukmu. Aku mau orang-orang tahu jika kita saling mencinta. Kamu bersedia menikah denganku bukan.”

Fath...... Aku menciumnya. Tak mau aku lepas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar