LIKE FATHER LIKE
DAUGHTER
“Padahal, sebenarnya kemarin aku sudah
menyerah Luh. Aku sudah pasrah kamu anggap aku ini apa. Pacar atau hanya
sekedar teman?”
Galuh mendongakkan kepalanya memandang ke
arah Gusti. Dia tertawa kecil.
“Kamu berubah Gus, mana Gusti yang penuh
ambisi dan semangat serta tak kenal kata menyerah itu?” ucap Galuh sambil
meninju manja dada Gusti.
“Gusti yang kemarin, telah pergi bersama
perginya Galuh yang ceria dan murah senyum itu.” Ucap Gusti lirih.
“Tapi Galuh yang dulu kini telah kembali.
Jadi Gusti yang dulu kembali juga kan ?”
Tanya Galuh manja.
Gusti tersenyum.
“Pasti.”
“Jadi…” Galuh menggantung kalimatnya.
“Jadi apa?” Tanya Gusti.
“Kamu memaafkan aku kan ?”
“Ya.” Gusti mengangguk.
“Kamu menyayangi aku?”
“Ya, aku menyanyangi kamu Galuh.”
“Sebesar apa sayang kamu padaku”
“Sebesar semangatmu untuk dapatkan medali
emas di Sea Games itu.”
Keduanya kini berdiri. Berhadap-hadapan. Galuh
menghela nafas panjang.
“Meskipun aku suka pergi dan meninggalkan
kamu?” sambung Galuh.
“Meskipun kamu suka pergi dan
meninggalkan aku.”
“Meskipun aku suka menghilang tiba-tiba?”
“Meskipun kamu suka menghilang
tiba-tiba.”
“Meskipun aku hanya anak seorang tukang
becak?”
“Meskipun kamu anak seorang tukang becak.
Meskipun orang tua kamu tidak bekerja. Meskipun kamu tak memiliki orang tua
sekalipun, aku tetap sayang kamu Galuh.”
Galuh menatap lekat pemuda tampan yang
berdiri di depannya. Pemuda yang kini memeluknya. Pemuda yang memiliki
tatapan mata setajam sorot mata Elang. Pemuda yang menjadi pangeran mimpinya.
“Aku sayang kamu Gus.”
Gusti menatap mata Galuh lekat. Seakan
sorot matanya berucap “Aku juga
mencintaimu Galuh.” Gusti mendekatkan bibirnya ke bibir Galuh. Galuh menyambutnya
perlahan. Bibir keduanya kini telah menyatu. Melekat erat seerat pelukan antar
keduanya.
“Tuhan,
aku sedang tidak bermimpi bukan?” tanya Galuh dalam hati.
Hujan perlahan turun membasahi bumi.
Angin bertiup perlahan membawa kesejukan.
“Gus, aku akan pergi sekarang dan kamu
tidak perlu protes lagi bukan? karena aku tidak mungkin lagi dapat berdebat
denganmu untuk hal yang satu ini. Aku harus dapatkan emas itu. Aku ingin buat
Ayahku bangga serta bahagia. ” Galuh menatap Gusti.
“Aku mengerti.” Jawab Gusti mengangguk.
Gusti hanya bisa tersenyum melihat Galuh melangkah pergi dan berlari
begitu cepatnya.
“Mungkin aku terlalu egois untuk paksakan
kehendakku. Seharusnya aku maklum. Apa yang di lakukannya selama ini semata
demi Ayahnya. Maafkan aku Galuh. Aku mengerti sekarang. Wujudkan cita-citamu. Raih
emas itu. Seperti yang Ayahmu telah lakukan dua puluh tahun yang lalu. I Love You.”
Gusti tersenyum.
…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar