^^

Selasa, 11 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #12 #mantan


LIKE FATHER LIKE DAUGHTER
      

       “Padahal, sebenarnya kemarin aku sudah menyerah Luh. Aku sudah pasrah kamu anggap aku ini apa. Pacar atau hanya sekedar teman?”
       Galuh mendongakkan kepalanya memandang ke arah Gusti. Dia tertawa kecil.
       “Kamu berubah Gus, mana Gusti yang penuh ambisi dan semangat serta tak kenal kata menyerah itu?” ucap Galuh sambil meninju manja dada Gusti.
       “Gusti yang kemarin, telah pergi bersama perginya Galuh yang ceria dan murah senyum itu.” Ucap Gusti lirih.
       “Tapi Galuh yang dulu kini telah kembali. Jadi Gusti yang dulu kembali juga kan?” Tanya Galuh manja.
       Gusti tersenyum.

       “Pasti.”
       “Jadi…” Galuh menggantung kalimatnya.
       “Jadi apa?” Tanya Gusti.
       “Kamu memaafkan aku kan?”
       “Ya.” Gusti mengangguk.
       “Kamu menyayangi aku?”
       “Ya, aku menyanyangi kamu Galuh.”
       “Sebesar apa sayang kamu padaku”
       “Sebesar semangatmu untuk dapatkan medali emas di Sea Games itu.”
       Keduanya kini berdiri. Berhadap-hadapan. Galuh menghela nafas panjang.
       “Meskipun aku suka pergi dan meninggalkan kamu?” sambung Galuh.
       “Meskipun kamu suka pergi dan meninggalkan aku.”
       “Meskipun aku suka menghilang tiba-tiba?”
       “Meskipun kamu suka menghilang tiba-tiba.”
       “Meskipun aku hanya anak seorang tukang becak?”
      “Meskipun kamu anak seorang tukang becak. Meskipun orang tua kamu tidak bekerja. Meskipun kamu tak memiliki orang tua sekalipun, aku tetap sayang kamu Galuh.”

       Galuh menatap lekat pemuda tampan yang berdiri di depannya. Pemuda yang kini memeluknya. Pemuda yang memiliki tatapan mata setajam sorot mata Elang. Pemuda yang menjadi pangeran mimpinya.
        “Aku sayang kamu Gus.”
       
   Gusti menatap mata Galuh lekat. Seakan sorot matanya berucap “Aku juga mencintaimu Galuh.” Gusti mendekatkan bibirnya ke bibir Galuh. Galuh menyambutnya perlahan. Bibir keduanya kini telah menyatu. Melekat erat seerat pelukan antar keduanya.

       Tuhan, aku sedang tidak bermimpi bukan?” tanya Galuh dalam hati.
      Hujan perlahan turun membasahi bumi. Angin bertiup perlahan membawa kesejukan.

       “Gus, aku akan pergi sekarang dan kamu tidak perlu protes lagi bukan? karena aku tidak mungkin lagi dapat berdebat denganmu untuk hal yang satu ini. Aku harus dapatkan emas itu. Aku ingin buat Ayahku bangga serta bahagia. ” Galuh menatap Gusti.
       “Aku mengerti.” Jawab Gusti mengangguk.
       Gusti hanya bisa tersenyum melihat Galuh melangkah pergi dan berlari begitu cepatnya.

       “Mungkin aku terlalu egois untuk paksakan kehendakku. Seharusnya aku maklum. Apa yang di lakukannya selama ini semata demi Ayahnya. Maafkan aku Galuh. Aku mengerti sekarang. Wujudkan cita-citamu. Raih emas itu. Seperti yang Ayahmu telah lakukan dua puluh tahun yang lalu. I Love You.” Gusti tersenyum.

       …….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar