CINTA LOKASI
“Kalau sudah besar, Chilla mau jadi
apa?”
“Chilla mau jadi dokter.”
Dulu, penggalan percakapan dari
iklan susu formula itu terus mengiang di telingaku. Aku berharap benar akan
menemukan anak-anak TK yang lucu seperti itu. Tampak manis dan lugu. Cakep,
imut, serta ayu. Mengasyikkan bukan? Begitu pikirku.
Namun, ah... apa yang aku dapatkan.
Setelah aku benar-benar berkenalan. Sekolah TK tak sesederhana itu. Cukup
kompleks dan tak bisa di tulis sederhana. Ruwet, ribet, bising, dan huft....
aku tidak suka anak-anak sebenarnya. Tapi sekarang aku di sini ternyata.
Menjadi seorang ibu guru sekolah TK. Apa daya?
Adalah Abigail, teman kuliahku yang
telah sukses merayuku untuk mengenal dunia yang satu ini. Abdikan diri untuk Program
Mengajar Negeri. Padahal aku Sarjana Sains. Ya, aku Sarjana Sains, Biologi Kelautan
bukan Sarjana Pendidikan. Tapi bukan malahan bekerja di lembaga kelautan
internasional seperti yang aku citakan. Tapi di sini. Sebuah sekolah TK. Apa
daya?
Tapi tak seburuk itu juga sebenarnya.
Aku masih bisa menemukan keping-keping bahagiaku di sini. Aku menemukan
anak-anak yang manis, lucu, imut, penurut meski sebagian besar lainnya banyak
yang bersifat sebalikya. Tapi namanya juga anak-anak TK. Ya begitulah
mereka.
Namun ada satu yang paling mencuri
hatiku. Anaknya benar-benar lucu, bandel dikit, tapi cerdasnya bukan main. Ia
tak seperti anak usia 5 tahun lainnya. Kadang pikiran dan ucapannya seperti
telah terpola. Lugu namun berbahaya. Membuatku makin jatuh cinta. Namanya Richi.
Aku memanggilnya Ici. Panggilan sayang.
Jika menghadapi anak ini, aku harus
siap berstrategi. Atau paling tidak, berfikir dulu sebelum bertindak. Atau yang
paling sederhana, berfikir dulu sebelum bicara. Jika tidak, akan terlihat bodoh
hasilnya. Contohnya, saat aku lontarkan pertanyaan pada materi pengenalan lampu
lalu lintas, jika aku tanyakan apa yang harus di lakukan jika lampu menyala
merah. Semua koor menjawab, berhenti Bu Guru. Tapi tidak dengan Ici, dia
mengangkat tangannya.
“Belum
tentu Bu Guru.” Begitu katanya.
“Kok bisa?” Aku balik bertanya.
“Kemarin,
Ici jalan sama Ayah, waktu lampu menyala merah, Ayah terus berjalan.” Begitu
jawabnya.
“Loh?
Tidak boleh seharusnya. Itu melanggar peraturan.” Balasku mencoba menjelaskan.
“Tapi
kata Ayah boleh, soalnya ada tulisan lurus jalan terus.” Timpalnya.
Errgh.....
Begitulah
hari-hariku di desa. Sebagai guru di sekolah TK. Tak betah aku sebenarnya
begini. Tapi ini untuk negeri yang aku sayangi. Apalagi, sekarang ada Ici. Anak
TK yang aku cinta. Apa daya?
Tak
terasa, waktu berlalu seiring gerak mentari. Begitu cepat tanpa kompromi.
Akupun telah kenal dekat dengan orang lain selain Ici. Orang yang terbiasa Ici
ceritakan kepadaku. Namanya Abimanyu. Ayahnya. Dan aku memanggilnya, Bima.
Panggilan sayang.
Ya,
boleh dikata aku telah pacaran dengannya. Meski perkenalan kami begitu singkat.
Tetapi seperti telah lama aku mengenalnya. Pola pikir kami seperti berasal dari
sebuah pabrik yang sama. Pikiran kami sama dalam memandang sesuatu. Pikiran
kami sama dalam mengambil keputusan. Pikiran kami sama dalam menatap masa
depan. Aku makin cinta dengan pria ini. Meski aku tahu dia belum terlalu mapan.
Tetapi mungkin itulah yang di namakan cinta. Apa daya?
Siang
itu Bima menawarkan singgah di rumahnya setelah sekolah usai. Aku mengiyakan
tawarannya. Mendung menggantung iringi perjalananku, Ici dan Bima. Kami
berjalan beriringan. Aku dan Bima mengapit Ici kiri-kanan. Sambil memegangi
tangan anak itu tentunya. Indahnya.....
Kami
tiba di rumah Bima setelah cukup jauh berjalan. Masuk ke dalam, aku mendapati
wajah yang telah lama aku rindukan.
“Eh,
ada paman.” Celetuk Ici riang.
Paman?
“Ya,
kami bersaudara. Abimanyu adalah kakakku.” Ucap Abigail saat ia berjalan ke
arahku.
Aku
ternganga. Pantas saja aku seperti telah lama mengenal Bima. Pantas saja aku
selalu nyambung dengannya. Pantas saja cara pandang kami sama. Lha dia kakak
Abigail. Teman kuliahku. Teman diskusiku. Teman berdebatku. Teman yang telah
sukses merayuku untuk berada di desa yang satu ini. Abdikan diri untuk Program Mengajar
Negeri. Pantas saja.
“Oh,
jadi kalian sudah saling kenal.” Ucap Bima dengan nada bercanda. Ia tersenyum
kepadaku.
Jujur,
ingin rasanya membawa mereka semua ke kota. Ke tempat di mana seharusnya aku
berada. Namun, Bima menolaknya. Dan aku sudah terlanjur cinta kepadanya. Mungkin inilah harga dari sebuah cinta. Apa
daya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar