^^

Minggu, 02 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #4 #timeline


IBU METROPOLITAN


14 Maret 2009

  Susah memang menjadi orang tua jaman sekarang. Apa-apa harus di pikir panjang. Hati harus lapang, pikiran harus tenang. Salah ucap anakpun membangkang. Padahal niat kita ini baik, mengarahkan kepada kebaikan untuk masa depan anak yang lebih mapan. Tapi coba kalau disampaikan dengan nada kerasan bukan perlahan. Hmm… anakpun berubah jadi kaya setan. Jika sudah begitu siapa yang harus disalahkan? Lama mikir kita bisa jadi jantungan.

                Seperti anak saya yang kedua. Namanya Kumbara. Anaknya rajin, patuh , sopan, berkarisma serta berwibawa. Anak siapa dulu? Anakku. Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak lagi begitu. Sebenarnya masih rajin, masih sopan, berkarisma dan berwibawa. Tapi ego nya itu, tidak bisa di ganggu. Kalau dia pengen “A” ya harus “A”, jika sudah bilang “I” ya harus “I”. Duh, Gusti……

                Seperti saat kita berdebat kemarin lusa. Kita tak sepaham tentang calon istrinya. Dia kenal saat di desa. Waktu Kuliah Kerja Nyata. Katanya rajin, sopan, berkarisma dan berwibawa. Berkarisma dan berwibawa apanya? Tetap saja orang desa. Wong Ndeso. Lebih-lebih aku dengar kalau dia ex Negeri Singa. Mantan TKW Singapura maksudnya. Tidak levellah dengan keluarga saya. Apa itu? Mantan babu begitu. Mau jadi mantu diriku yang berdarah biru. Tidak level, tahu!

                “Pokoknya, Bara akan menikah dengan Pratiwi. Titik”

                “Ya kamu tidak bisa egois begitu Cah Bagus, menikah bukan hal yang mudah. Bukan hal yang sederhana.”

                “Mami saja yang membuat rumit.”

                “Bukan begitu maksudku, begini lho…coba di pikir lagi. Apa kamu setara dengan Pratiwi. Keluarga kita jauh di atas dia yang cuma bocah desa. Kamu itu sarjana, sebentar lagi S2. Apa tidak sayang jika istrimu hanya begitu. Bekas pembantu.”

                “Cukup Mi, masa depanku biarkan aku yang tentukan sendiri. Mami sudah terlalu lama memaksaku begitu begini. Mami terlalu membanggakan diri. Coba Mami intropeksi.”

                “Oh, jadi sekarang anakku begitu. Sudah berani melawanku hanya karena seorang babu. Kamu itu kalau mencari calon istri jangan asal lengket langsung di gaet. Harus mikir dong, menimbang bobot bibit bebet. Jangan-jangan kamu kena pelet?”

                “Ah, sudah. Aku bosan bertengkar dengan Mami.”
                Ya begitulah anakku sekarang. masih rajin, masih sopan namun sedikit kelewat aturan. Jika sudah begitu siapa yang harus disalahkan? Lama mikir aku bisa jantungan.


                09 Desember 2011

                “Sudah, Mami ikut saja. Acaranya tidak sampai malam kok.”

                Begitu ucap anakku tadi merayuku untuk datang ke acara ini. Aku mau datang dengan alasan anakku semata, bukan istrinya yang tak berdarah biru dan hanya seorang pembantu itu. Aku masih belum terima. Si anak desa itu sukses jadi istri Kumbara. Mungkin benar firasatku. Anakku lengket karena di pelet.

                “…dan pemenang dari Entrepreneurship Award 2011 kategori Entrepreneur dengan penggunaan media maya terbaik jatuh kepada…. RADEN KUMBARA HARYODININGRAT.”

                Tepuk tangan bergemuruh. Anakku maju ke depan untuk menerima penghargaan.

                Aku bertepuk tangan sekuatku. Iseng kusenggol ibu-ibu sebelahku yang sasaknya kalah tinggi dariku. “Jeung, itu anakku.” Dia hanya tersenyum kecut, cemburu. Apa peduliku.

                “Eh, tapi kenapa si babu ikut maju?”

                Kulihat anakku menyerahkan podium kepada mantuku si pembantu itu. Untuk apa pikirku.

                Ruangan menghening saat mantuku si pembantu itu mulai berbicara.

                “….tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen-dosen saya di Twitter. Terima kasih kepada Mas Sandiaga, terima kasih kepada Mas Safir, terima kasih kepada Koko Bong, Bapak Ponijan Law, Bapak Renald Kasali. Terima kasih atas materi-materi kuliahnya di linimasa Twitter. Berkat mereka semua, saya bisa membantu suami saya mendapatkan anugerah ini. Terima kasih para kawan blogger, Facebook, dan terima kasih banyak Twitter.” Ucap mantuku panjang yang di ikuti gemuruh tepuk tangan.

                “Twitter? Dia tadi bilang dosen-dosen di Twitter lalu menyebutkan orang-orang top di Indonesia. Aku kenal beberapa. Dosen-dosen? Emang dia kuliah? Kuliah di Twitter? Universitas baru ya? Halah…paling cuma universitas kacangan.”

                Anakku turun dari panggung dan kembali duduk di sampingku. Mantuku si pembantu itu duduk di sampingnya. Tak kuasa aku tahan penasaran, akupun mengajukan pertanyaan.

                “Bara, memangnya istrimu itu kuliah? Kuliah di Twitter? Di mana itu?”

                Kulihat anakku juga mantuku si pembantu itu langsung tertawa lalu spontan menutup mulutnya.

                “Aduh mami, katanya pinter, masa tidak tahu di mana Universitas Twitter?.” Anakku menjawab dengan nada menggoda. Kudengar orang depan belakang juga ikut menahan tawa. Lalu, ibu-ibu sebelahku yang sasaknya kalah tinggi dariku itu pun ikut tertawa. Ada apa ya?

                Ah sudahlah, susah memang jadi orang tua jaman sekarang. Yang penting sekarang anakku senang dan tidak lagi membangkang. Aku tak mau lagi sibuk mikir, lama mikir aku bisa jantungan. Nah, kalo aku jantungan pasti tidak ada kan yang mau disalahkan?
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar