IBU METROPOLITAN
14 Maret 2009
Susah memang
menjadi orang tua jaman sekarang. Apa-apa harus di pikir panjang. Hati harus
lapang, pikiran harus tenang. Salah ucap anakpun membangkang. Padahal niat kita
ini baik, mengarahkan kepada kebaikan untuk masa depan anak yang lebih mapan. Tapi
coba kalau disampaikan dengan nada kerasan
bukan perlahan. Hmm… anakpun berubah jadi kaya setan. Jika sudah begitu
siapa yang harus disalahkan? Lama mikir kita bisa jadi jantungan.
Seperti
anak saya yang kedua. Namanya Kumbara. Anaknya rajin, patuh , sopan, berkarisma
serta berwibawa. Anak siapa dulu? Anakku. Tapi itu dulu, sekarang sudah tidak lagi
begitu. Sebenarnya masih rajin, masih sopan, berkarisma dan berwibawa. Tapi ego
nya itu, tidak bisa di ganggu. Kalau dia pengen “A” ya harus “A”, jika sudah bilang
“I” ya harus “I”. Duh, Gusti……
Seperti
saat kita berdebat kemarin lusa. Kita tak sepaham tentang calon istrinya. Dia kenal
saat di desa. Waktu Kuliah Kerja Nyata. Katanya rajin, sopan, berkarisma dan
berwibawa. Berkarisma dan berwibawa apanya? Tetap saja orang desa. Wong Ndeso. Lebih-lebih aku dengar kalau
dia ex Negeri Singa. Mantan TKW
Singapura maksudnya. Tidak levellah dengan keluarga saya. Apa itu? Mantan babu begitu. Mau jadi mantu diriku yang
berdarah biru. Tidak level, tahu!
“Pokoknya,
Bara akan menikah dengan Pratiwi. Titik”
“Ya
kamu tidak bisa egois begitu Cah Bagus,
menikah bukan hal yang mudah. Bukan hal yang sederhana.”
“Mami
saja yang membuat rumit.”
“Bukan
begitu maksudku, begini lho…coba di pikir lagi. Apa kamu setara dengan Pratiwi.
Keluarga kita jauh di atas dia yang cuma bocah desa. Kamu itu sarjana, sebentar
lagi S2. Apa tidak sayang jika istrimu hanya begitu. Bekas pembantu.”
“Cukup
Mi, masa depanku biarkan aku yang tentukan sendiri. Mami sudah terlalu lama
memaksaku begitu begini. Mami terlalu membanggakan diri. Coba Mami intropeksi.”
“Oh,
jadi sekarang anakku begitu. Sudah berani melawanku hanya karena seorang babu. Kamu itu kalau mencari calon istri
jangan asal lengket langsung di gaet.
Harus mikir dong, menimbang bobot bibit
bebet. Jangan-jangan kamu kena pelet?”
“Ah,
sudah. Aku bosan bertengkar dengan Mami.”
Ya
begitulah anakku sekarang. masih rajin, masih sopan namun sedikit kelewat
aturan. Jika sudah begitu siapa yang harus disalahkan? Lama mikir aku bisa jantungan.
09
Desember 2011
“Sudah,
Mami ikut saja. Acaranya tidak sampai malam kok.”
Begitu
ucap anakku tadi merayuku untuk datang ke acara ini. Aku mau datang dengan alasan
anakku semata, bukan istrinya yang tak berdarah biru dan hanya seorang pembantu
itu. Aku masih belum terima. Si anak desa itu sukses jadi istri Kumbara. Mungkin
benar firasatku. Anakku lengket karena di pelet.
“…dan
pemenang dari Entrepreneurship Award 2011 kategori Entrepreneur dengan
penggunaan media maya terbaik jatuh kepada…. RADEN KUMBARA HARYODININGRAT.”
Tepuk
tangan bergemuruh. Anakku maju ke depan untuk menerima penghargaan.
Aku
bertepuk tangan sekuatku. Iseng kusenggol ibu-ibu sebelahku yang sasaknya kalah
tinggi dariku. “Jeung, itu anakku.” Dia hanya tersenyum kecut, cemburu. Apa peduliku.
“Eh,
tapi kenapa si babu ikut maju?”
Kulihat
anakku menyerahkan podium kepada mantuku si pembantu itu. Untuk apa pikirku.
Ruangan
menghening saat mantuku si pembantu itu mulai berbicara.
“….tidak
lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen-dosen saya di Twitter. Terima kasih
kepada Mas Sandiaga, terima kasih kepada Mas Safir, terima kasih kepada Koko
Bong, Bapak Ponijan Law, Bapak Renald Kasali. Terima kasih atas materi-materi
kuliahnya di linimasa Twitter. Berkat mereka semua, saya bisa membantu suami
saya mendapatkan anugerah ini. Terima kasih para kawan blogger, Facebook, dan
terima kasih banyak Twitter.” Ucap mantuku panjang yang di ikuti gemuruh tepuk
tangan.
“Twitter?
Dia tadi bilang dosen-dosen di Twitter lalu menyebutkan orang-orang top di
Indonesia. Aku kenal beberapa. Dosen-dosen? Emang dia kuliah? Kuliah di Twitter?
Universitas baru ya? Halah…paling cuma universitas kacangan.”
Anakku
turun dari panggung dan kembali duduk di sampingku. Mantuku si pembantu itu
duduk di sampingnya. Tak kuasa aku tahan penasaran, akupun mengajukan
pertanyaan.
“Bara,
memangnya istrimu itu kuliah? Kuliah di Twitter? Di mana itu?”
Kulihat
anakku juga mantuku si pembantu itu langsung tertawa lalu spontan menutup
mulutnya.
“Aduh
mami, katanya pinter, masa tidak tahu
di mana Universitas Twitter?.” Anakku menjawab dengan nada menggoda. Kudengar orang
depan belakang juga ikut menahan tawa. Lalu, ibu-ibu sebelahku yang sasaknya
kalah tinggi dariku itu pun ikut tertawa. Ada apa ya?
Ah
sudahlah, susah memang jadi orang tua jaman sekarang. Yang penting sekarang
anakku senang dan tidak lagi membangkang. Aku tak mau lagi sibuk mikir, lama
mikir aku bisa jantungan. Nah, kalo aku jantungan pasti tidak ada kan yang mau
disalahkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar