^^

Kamis, 13 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #14 #pernikahan


KARMA BERTUTUR

           
            Lonceng jam lemari kuno yang berdiri di sudut ruang tamu rumahku berdentang tujuh kali saat aku dan Utami telah duduk di sofa kulit imitasi berwarna coklat ini. Kami menunggu ibuku keluar.
            Tak berselang lama ibukupun keluar bersama aroma parfum khas nya sehari-hari. Entah mengapa aku merasakan takut luar biasa. Kurasakan peluh menjalar di keningku. Aku tidak berani menatap ibuku. Aku tundukkan wajahku. Tangan kiriku menggenggam erat jemari Utami.
            Begitupun dengan Utami, pujaan hatiku ini juga menunduk. Wajahnya mulai memucat. Tangannya beranjak dingin. Dirinya terdiam seribu bahasa.
            “Untuk apa kamu bawa gadis itu kemari, Raganata?” tanya Ibuku sesaat setelah duduk di depan kami.
            “Raga mau bilang sesuatu kepada ibu, tentang hubungan kami, rencana pernikahan kami Bu.”
            “Ibu tidak setuju dengan hubungan kalian. Titik.”
            “Tapi Bu.”
            “Tapi apa? Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya Ibu tidak setuju dengan hubungan kalian. Ibu tentang rencana pernikahan kalian. Firasatku berkata, gadis itu bukan dari keluarga baik-baik.”
            “Bagaimana ibu bisa berkata demikian. Bertemu dengan keluarga Utami saja, Ibu belum pernah. Dan lagi, sekarang Utami hamil, Bu.” Ucapku perlahan.
            “APA!!” Ibu terperanjat. lalu berdiri.
            “Ya Bu, Utami kini telah hamil. Hamil anak Raga. Cucu Ibu.” Jelasku setengah merayu, mencari celah agar bisa menyusupkan simpati ke dalam hatinya. 
            Namun, kulihat mata Ibu malah membulat. Roman mukanya semakin mengeras. Wajahnya nampak tak senang.
            “Gugurkan bayi itu sebelum menjadi aib.” Ibu menunjuk ke arah perut Utami.
            Seketika kudengar Utami terisak, tangan kirinya menutup bibirnya. Mencegah agar suara tangis itu tetap berada di tempatnya.
            Mendengar apa yang baru di ucapkan ibuku, darahku berdesir, jantungku berdegup lebih cepat. Bagaimana bisa ibuku dapat setega ini. Ada sedikit amarah menyelinap dalam hatiku. Aku mulai berfikir untuk kawin lari saja dengan Utami, toh kami berdua sudah saling mencintai, perihal ibuku peduli setan.

            Baru aku ingin menarik lengan Utami untuk aku ajak pergi, seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam rumah. Memang pintu ruang tamu tadi tidak tertutup sempurna. Lelaki itu telah berdiri tegap di hadapan kami bertiga. Prasodjo, nama lelaki itu, ayah Utami. Sebelumnya, baru sekali aku bertemu dengannya. Anehnya, diapun membenciku sama seperti ibuku yang membenci Utami.
            “Pratiwi?!” ucapnya kaget saat sorot matanya tertumbuk pada sosok wajah ibuku. Darimana dia tahu nama ibuku. Apakah mereka saling kenal.
            “Rahardjo…untuk apa kamu kemari?! Untuk apa?!” sahut ibuku tak kalah heran mendapati laki-laki yang berdiri di depannya itu. Rupanya ibu juga kenal dengan lelaki itu.
            “Aku mau mengambil anakku. Aku akan membawanya pulang.”
            Mengambil anakmu? Beraninya kamu berkata demikian. Kemana saja kamu selama ini.” Kata ibuku.
Kurasakan udara semakin panas. aku masih memeluk Utami yang masih menangis. Kulihat ibuku mendekat pada lelaki itu.
“Aku tidak ada urusan dengan kamu lagi Pratiwi.”
“Lantas untuk apa kamu datang kemari, ha..!” hardik ibuku.
“Aku ke sini hanya untuk mengambil anakku. Dan tidak ada yang bisa mencegahnya, termasuk kamu.” Jawab lelaki itu dengan nada setengah membentak pada ibuku.
“Aku juga tidak akan menyerahkan anakku kepadamu. Anak yang tidak kamu akui. Anak yang kamu campakkan.” Ucap ibuku seraya melangkah ke arahku, berbalik dan membentangkan tangannya.
Sebentar sebentar, tadi kudengar ibu berkata anak yang kamu campakkan? Apa maksud ucapan ibu? Siapa yang dicampakkan.
            Ketika aku sebentar mencoba mencari-cari jawaban atas pertanyaan ini, tiba-tiba lelaki itu datang mendekat dan mendorong tubuh ibuku hingga tersungkur. Aku segera menolong ibu.
            Kemudian, lelaki itu menarik lengan kekasihku dan berjalan keluar.
            “Rahardjo tunggu.” Ibuku berteriak setelah kami berdua kembali berdiri.
            Lelaki itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh kepada kami.
            “Aku akan bawa Utami pulang. Aku akan bawa anakku pulang. Aku tidak mau anakku berhubungan dengan anak itu. Apalagi setelah tahu, anak itu adalah anakmu.” Ucap lelaki itu. Tangannya menunjuk ke arahku.
            “Jadi, Utami itu anakmu? Jadi yang kamu maksud anak yang ingin kamu bawa pulang itu gadis itu?” ucap ibuku pelan.
            “Iya, memangnya kenapa? Apa hubungannya dengan kamu?”
            “Jadi gadis itu anakmu?” Ibu mengulang ucapannya.
            “Iya, memangnya kenapa? Ada yang salah?”
            Kurasakan tetesan air di tangannku. Air mata ibu tumpah. Apa yang sebenarnya terjadi. Kepalaku mendadak terasa berat.
Sebenarnya, ingin rasanya aku meraih kembali Utami ke pelukku, namun melihat ibuku yang teraniaya tidak mungkin pula aku meninggalkannya. Arrgghhh……
Ibuku maju selangkah,…
             “Perlu kamu tahu Rahardjo, perlu kamu tahu. Kamu lihat bocah di belakangku itu. Kamu lihat bocah yang kamu benci itu. Dia juga anakmu. Dia darah dagingmu. Dia anak yang aku kandung saat kamu membuang aku dan memilih perempuan itu. Dia anakmu Rahardjo. Anakmu!” ucap ibu histeris. Dia kembali ke arahku dan memelukku erat.

            Jlebb!
Ya Tuhan... benarkah apa yang aku dengar ini? Aku tatap mata lelaki di depanku itu dan Utami berganti-ganti.
            Kulihat, lelaki paruh baya itu terheran-heran sementara kekasihku mulai menangis lagi. Air matanya berlimpah. Dia menatapku tajam. Lalu, Utami terhuyung seraya memegangi perutnya dan akhirnya kini pujaan hatiku itu benar-benar telah ambruk.
            Aku masih berdiri mematung. Ibuku masih terisak dalam pelukku. Kini bajuku telah basah oleh air matanya yang tak kunjung mengering.

           Masih dalam jangkau indera penglihatanku, Lelaki paruh baya itu masih saja tampak terbengong mendapati reaksi kami. Ia belum menyadari bahwa dosa besar telah ikut dalam lakon ini. Dosa besar yang telah aku perbuat.
            Inikah firasat buruk yang ibu katakan padaku tentang hubunganku dengan Utami. Inikah jawaban mengapa dia tidak menyetujui hubungan kami
            Jika benar demikian adanya, jika benar lelaki paruh baya yang ada di hadapanku ini adalah ayahku, jadi Utami adalah ………..
 Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?
Lonceng jam lemari kuno yang berdiri di sudut ruang tamu rumahku kembali berdentang, kali ini delapan kali. 

..............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar