KARMA BERTUTUR
Lonceng jam lemari kuno yang berdiri
di sudut ruang tamu rumahku berdentang tujuh kali saat aku dan Utami telah
duduk di sofa kulit imitasi berwarna coklat ini. Kami menunggu ibuku keluar.
Tak berselang lama ibukupun keluar
bersama aroma parfum khas nya sehari-hari. Entah mengapa aku merasakan takut
luar biasa. Kurasakan peluh menjalar di keningku. Aku tidak berani menatap
ibuku. Aku tundukkan wajahku. Tangan kiriku menggenggam erat jemari Utami.
Begitupun dengan Utami, pujaan
hatiku ini juga menunduk. Wajahnya mulai memucat. Tangannya beranjak dingin.
Dirinya terdiam seribu bahasa.
“Untuk apa kamu bawa gadis itu
kemari, Raganata?” tanya Ibuku sesaat setelah duduk di depan kami.
“Raga mau bilang sesuatu kepada ibu,
tentang hubungan kami, rencana pernikahan kami Bu.”
“Ibu tidak setuju dengan hubungan
kalian. Titik.”
“Tapi Bu.”
“Tapi apa? Tidak ada tapi-tapian. Pokoknya Ibu tidak setuju dengan
hubungan kalian. Ibu tentang rencana pernikahan kalian. Firasatku berkata,
gadis itu bukan dari keluarga baik-baik.”
“Bagaimana ibu bisa berkata
demikian. Bertemu dengan keluarga Utami saja, Ibu belum pernah. Dan lagi,
sekarang Utami hamil, Bu.” Ucapku perlahan.
“APA!!” Ibu terperanjat. lalu
berdiri.
“Ya Bu, Utami kini telah hamil.
Hamil anak Raga. Cucu Ibu.” Jelasku setengah merayu, mencari celah agar bisa
menyusupkan simpati ke dalam hatinya.
Namun, kulihat mata Ibu malah
membulat. Roman mukanya semakin mengeras. Wajahnya nampak tak senang.
“Gugurkan bayi itu sebelum menjadi
aib.” Ibu menunjuk ke arah perut Utami.
Seketika kudengar Utami terisak,
tangan kirinya menutup bibirnya. Mencegah agar suara tangis itu tetap berada di
tempatnya.
Mendengar apa yang baru di ucapkan
ibuku, darahku berdesir, jantungku berdegup lebih cepat. Bagaimana bisa ibuku
dapat setega ini. Ada sedikit amarah menyelinap dalam hatiku. Aku mulai
berfikir untuk kawin lari saja dengan Utami, toh kami berdua sudah saling
mencintai, perihal ibuku peduli setan.
Baru aku ingin menarik lengan Utami
untuk aku ajak pergi, seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam rumah. Memang
pintu ruang tamu tadi tidak tertutup sempurna. Lelaki itu telah berdiri tegap
di hadapan kami bertiga. Prasodjo, nama lelaki itu, ayah Utami. Sebelumnya, baru
sekali aku bertemu dengannya. Anehnya, diapun membenciku sama seperti ibuku
yang membenci Utami.
“Pratiwi?!” ucapnya kaget saat sorot
matanya tertumbuk pada sosok wajah ibuku. Darimana dia tahu nama ibuku. Apakah
mereka saling kenal.
“Rahardjo…untuk apa kamu kemari?!
Untuk apa?!” sahut ibuku tak kalah heran mendapati laki-laki yang berdiri di
depannya itu. Rupanya ibu juga kenal dengan lelaki itu.
“Aku mau mengambil anakku. Aku akan
membawanya pulang.”
“Mengambil
anakmu? Beraninya kamu berkata demikian. Kemana saja kamu selama ini.” Kata ibuku.
Kurasakan
udara semakin
panas. aku masih
memeluk Utami yang masih menangis. Kulihat ibuku mendekat pada lelaki itu.
“Aku tidak ada
urusan dengan kamu lagi Pratiwi.”
“Lantas
untuk apa kamu datang kemari, ha..!” hardik ibuku.
“Aku ke sini
hanya untuk mengambil anakku. Dan tidak ada yang bisa mencegahnya, termasuk
kamu.” Jawab lelaki itu dengan nada setengah membentak pada ibuku.
“Aku juga tidak
akan menyerahkan anakku kepadamu. Anak yang tidak kamu akui. Anak yang kamu
campakkan.” Ucap ibuku
seraya melangkah ke arahku, berbalik dan membentangkan tangannya.
Sebentar
sebentar, tadi kudengar ibu berkata anak yang kamu campakkan? Apa maksud ucapan ibu? Siapa yang
dicampakkan.
Ketika aku
sebentar mencoba mencari-cari jawaban atas pertanyaan ini, tiba-tiba lelaki itu
datang mendekat dan
mendorong tubuh ibuku hingga tersungkur. Aku segera menolong ibu.
Kemudian,
lelaki itu
menarik lengan kekasihku dan berjalan keluar.
“Rahardjo
tunggu.” Ibuku
berteriak setelah kami berdua kembali berdiri.
Lelaki itu menghentikan langkahnya. Ia
menoleh kepada kami.
“Aku akan bawa Utami pulang. Aku akan
bawa anakku pulang. Aku tidak mau anakku berhubungan dengan anak itu. Apalagi
setelah tahu, anak itu adalah anakmu.” Ucap lelaki itu. Tangannya menunjuk ke
arahku.
“Jadi,
Utami itu anakmu? Jadi yang kamu maksud anak yang ingin kamu bawa pulang itu gadis itu?” ucap ibuku pelan.
“Iya,
memangnya kenapa? Apa hubungannya dengan kamu?”
“Jadi
gadis itu anakmu?” Ibu mengulang ucapannya.
“Iya,
memangnya kenapa? Ada yang salah?”
Kurasakan
tetesan air di tangannku. Air mata ibu tumpah. Apa yang sebenarnya terjadi. Kepalaku mendadak terasa
berat.
Sebenarnya,
ingin rasanya aku meraih kembali Utami ke pelukku, namun melihat ibuku yang
teraniaya tidak mungkin pula aku meninggalkannya. Arrgghhh……
Ibuku
maju selangkah,…
“Perlu
kamu tahu Rahardjo, perlu kamu tahu. Kamu lihat bocah di belakangku itu.
Kamu lihat bocah yang kamu benci itu.
Dia juga anakmu. Dia
darah dagingmu. Dia anak yang aku kandung saat kamu membuang aku dan memilih
perempuan itu. Dia anakmu Rahardjo. Anakmu!” ucap ibu histeris. Dia kembali
ke arahku dan memelukku erat.
Jlebb!
Ya Tuhan... benarkah apa yang
aku dengar ini? Aku tatap mata lelaki di depanku itu dan Utami berganti-ganti.
Kulihat,
lelaki paruh baya itu terheran-heran sementara kekasihku mulai menangis lagi. Air matanya berlimpah.
Dia menatapku tajam. Lalu, Utami terhuyung
seraya memegangi perutnya dan akhirnya kini pujaan hatiku itu benar-benar telah ambruk.
Aku masih
berdiri mematung. Ibuku masih terisak dalam pelukku. Kini bajuku telah basah
oleh air matanya yang tak kunjung mengering.
Masih dalam
jangkau indera penglihatanku, Lelaki paruh baya itu masih saja tampak terbengong mendapati reaksi kami. Ia belum menyadari bahwa
dosa besar telah ikut dalam lakon ini. Dosa besar yang telah aku perbuat.
Inikah firasat buruk yang ibu
katakan padaku tentang hubunganku dengan Utami. Inikah jawaban mengapa dia
tidak menyetujui hubungan kami
Jika benar
demikian adanya, jika benar lelaki paruh baya yang ada di hadapanku ini adalah
ayahku, jadi Utami adalah ………..
Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?
Lonceng
jam lemari kuno yang berdiri di sudut ruang tamu rumahku kembali berdentang,
kali ini delapan kali.
..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar