IJIN TUHAN
Aku lihat tanganmu melambai
mengangkasa di kerumunan. Aku masih jalan perlahan. Aku gontai. Aku sepi dan
selalu begini. Sebenarnya ingin aku melupakanmu, menggantimu dengan wajah baru
yang Tuhanku setuju. Namun aku ragu. Aku tidak mungkin mampu. Kamu cinta
pertamaku. Dan akan selamanya begitu.
Dan, seperti biasa. Kamu tetap
tersenyum ramah, selalu menyapaku
renyah. Melihatmu yang begitu lelah,
dan kamu masih sanggup tersenyum untukku itu adalah bukti betapa kamu
mencintaiku. Perlu kau tahu Vi, akupun mencintaimu. Dan akan selamanya begitu.
Dan
akan selamanya begitu. Karena aku yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik bagi
anakku. Serta ibu yang baik pula bagi anakmu. Kamu begitu sayang kepada mereka
berdua. Meski aku tahu beban itu berat, engkau tak percayakan siapapun untuk
menyentuhnya. Mereka tetap dalam pelukanmu. Berdua lelap dalam dekapanmu. Kamu
sungguh seorang wanita perkasa. Kamu terlalu istimewa untukku. Dan akan
selamanya begitu.
Kita
berjalan beriringan setelah kini anakku bergayut pada tubuhku. Kamu begitu sexy
saat melangkah seperti itu. Kamu tak merasa repot meski ada anakmu di
dekapanmu. Itulah yang membuatku semakin tidak ragu. Untuk memilih dirimu
menjadi istriku.
Tapi
Vi, terus terang aku masih bimbang. Lanjutkan kisah kita ini atau berhenti di
sini. Aku tidak cukup berani untuk menentang Tuhanku. Dan akupun tahu, kamupun
akan berfikir seribu kali untuk menentang Tuhanmu. Meski kita sudah lama
bersama. Meski masing-masing cinta kita sempat pergi. Namun mereka kembali
bukan. Cintamu kembali kepadaku karena telah lama mengenalku. Seperti halnya aku yang telah sangat mengenalmu. Hanya saja,
masing-masing Tuhan kita belum mengenal satu dengan lainnya. Jadi, apakah kita akan
melanggar aturan, atau sabar untuk menunggu hingga Tuhan kita kenalan. Semua
ini telah lama aku pikirkan. Namun hingga kini belum bisa aku putuskan. Aku
masih bimbang. Memilih melanjutkan cinta bersamamu atau tetap memeluk aturan
Tuhanku.
“Hey, kok melamun
begitu.”
“Ah, tidak juga.”
“Apanya yang
tidak juga? Kamu melamun apa Bie? Kita?”
Aku hanya bisa
mengangguk.
“Akupun telah
beribu kali fikirkan. Kita teruskan, atau kita berhenti di sini Bie.”
“Aku tidak mau
berhenti Vi, aku terlalu mencintaimu. Namun aku juga takut dengan Tuhanku.”
“Aku juga ingin
tetap bersamamu Bie, aku mau kita menikah secepatnya. Jika bisa bulan depan.”
“Mana bisa? Hukum
Negara kitapun belum mengenal pernikahan beda agama.”
“Oleh karena
itulah kita menikah di Belanda.”
“Kamu yakin? Kamu
tidak takut kepada Tuhanmu?”
“Bukan masalah
takut atau tidak. Aku telah memikirkannya beribu kali. Dan aku putuskan untuk
mencintaimu hingga akhir nafasku. Aku yakin Tuhan merestui cinta kita.”
Kutatap mata
indahmu. Tak ada sedikitpun keraguan di sana. Mata yang sejak awal memikatku.
Mata yang menjeratku dengan renjana cintamu. Mata yang membuatku jatuh cinta
kepadamu.
Ya, bulan depan
kita ke Belanda. Ku harap kini masing-masing Tuhan kita telah berkenalan.
Saling berpeluk dan mengijinkan aku memiliki wanita luar biasa sepertimu untuk
menjadi pendamping hidupku. Selalu. Dan akan
selamanya begitu.
**************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar