^^

Rabu, 12 Oktober 2011

#15harimenulisdiblog #13 #rumah


SHE'S MY FATHER

            Hujan turun saat amarah kami mulai mereda.
          “Pokoknya aku minta cerai.” Ucapnya lirih, kedua telapak tangannya masih menutup mukanya yang tertunduk. Isak masih lemah terdengar.
            “Apakah harus begitu?” tanyaku padanya.
            “Terpaksa mas, aku malu. Keluargaku malu. Keluarga besarku malu mas.”           
         “Tapi Mi, sudah sepuluh tahun kita bersama. Kita sudah punya Satria. Kita hidup bahagia.”
            “Kemarin! Kemarin kita bahagia. Tetapi setelah semua ini terungkap, aku sudah tidak bahagia lagi. Aku sudah tidak bisa bersamamu lagi mas. Aku malu…”
            Tangisnya kembali pecah.
            Huftt…apa yang aku bisa perbuat sekarang. Koran-koran serta tajuk berita televisi menuliskannya besar-besar. Berita ini telah luas menyebar kepada masyarakat. Pantaslah jika istriku malu. Begitupun aku.
            Kulihat Utami, istriku beranjak dari tempat duduknya. Dia mengambil koper besar, mengambil pakaiannya beberapa dari lemari. Lalu mengemasnya dalam koper.
            Aku hanya bisa menghela napas saja melihat tindakan istriku. Ingin rasanya tangan ini bergerak dan menahannya untuk tidak pergi. Namun, seperti ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa tidak mampu melakukan itu.
            “Satria aku bawa.” Ucapnya padaku kemudian.

            Mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi andai pada saat itu aku berani mencegah apa yang akan di perbuat ibuku. Namun, aku hanyalah seorang anak laki-laki yang kurang tegas saat berhadapan dengan ibuku. Orang tuaku satu-satunya. Seorang single parent yang kuat, tegas, dan dominan dalam mendidik anak-anaknya. Seorang ibu yang mengambil peran seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya. Mungkin, ketegasan ibuku malah jauh lebih besar jika di bandingkan dengan ayah teman-temanku kala itu. Pun, begitu hingga hari ini, ibu masih sangat mendominasi kami. Bagi kami, dia adalah ibu yang lemah lembut sekaligus seorang ayah yang disiplin, tegas atau mungkin bisa dikatakan galak.

            Hari sudah beranjak siang ketika handphone pribadiku berbunyi.
            “Halo Mas..” suara istriku dari seberang sana.
            “Ya halo, ada apa Mi.”
            “Bisa tidak kalau Mas ke sini sekarang. Anakmu nangis terus mencari Mas dari pulang sekolah tadi.”
            “Aduh, menangis kenapa?”
            “Aku juga tidak tahu, dia terus nanyain kamu. Mas bisa ke sini sebentar tidak?”
            “Oh iya iya, aku usahakan.”
            “Cepat ya Mas, aku sudah pusing. Satria nangis terus.”
            Brakk…suara gagang telepon di banting.

            Hatiku bertanya-tanya sepanjang perjalanan mengapa anakku menangis terus sedari tadi seperti kata istriku. Bukan kebiasaan Satria seperti itu. Anakku bukan tipikal anak cengeng menurutku. Aku jarang sekali mendapatinya menangis. Apa yang terjadi sebenarnya.

            Brumm…mobilku aku parkirkan di bawah pohon Mangga rumah mertuaku ini. Ya, aku datang ke rumah mertuaku. Utami memilih minggat dari rumah ibuku saat kasus yang menimpa mertuanya benar-benar membesar.
            “Lama banget sih Mas, tuh anakmu di kamar nangis terus.” Sambut istriku saat membuka pintu rumah besar ini.
            “Macet.” Jawabku singkat.
            Segera aku menuju kamar di mana anakku terbaring menangis.
      Satria segera beringsut dari pembaringannya lalu memelukku erat-erat. Masih menangis.
            “Ayah...” ucapnya terisak.
            “Iya, ada apa jagoan ayah kok menangis seperti ini?” Jawabku sambil melepaskan pelukannya dan mendudukkannya kembali di kasur.
            Aku berjongkok di depannya.
            “Ayah baca koran, kan?” Tanya Satria.
            “Iya, kenapa memangnya?”
            “Tadi teman-teman Satria bawa koran, lalu menunjukkannya ke Satria. Di Koran itu ada foto nenek besar sekali. Ada tulisannya besar juga. Pratiwi, Anggota Dewan terdakwa kasus suap proyek bantuan Koperasi Desa akan di vonis minggu depan. Lalu teman-teman mulai mengolok-olok Satria. Cucu koruptor…Cucu koruptor….begitu yah.” Cerita anakku detil.
            Kembali aku menghela nafas dalam-dalam.
            “Ayah, jadi benar yang Satria lihat kemarin di berita televisi itu nenek. Nenek itu korupsi ya yah?” lanjut anakku.
            Aku bingung bagaimana harus menjelaskan semua ini kepada anakku. Bagaimana aku menyampaikannya dengan kalimat yang tepat untuk seorang bocah sembilan tahun ini. Bagaimana jika dia salah pengertian nanti. Bagaimana jika dia berubah membenci neneknya, lalu membenci aku seperti yang terjadi pada istriku. Bagaimana?

            Rumah ini terasa sepi ketika hanya aku dan beberapa pembantu yang masih berada di sini. Rumah ini sepi tanpa gelak tawa candaan anakku dengan ibuku. Rumah ini sepi tanpa suara televisi yang ditonton istriku. Rumah ini sepi tanpa adanya tamu-tamu ibuku yang entah siapa itu yang datang setiap malam. Rumah ini sepi ketika ibuku telah pergi. Dan sekarang benar-benar sepi saat istri dan anakku juga pergi. Aku kesepian.
            “Bapak bangun, sudah malam silahkan tidur di dalam. Nanti masuk angin.” Ucap mbok Sumi membangunkanku yang ternyata tertidur di kursi teras belakang rumah.
            “Makasih ya mbok.”

            “Berat Mas Wisnu, semua saksi memberikan pernyataan yang memberatkan ibu.” Kata Alloysius, pengacara kami.
            “Apa benar-benar tidak bisa di usahakan pak? Maksud saya, apa tidak ada satupun saksi yang bisa meringankan.”
            “Itu yang masih saya usahakan. Sebaik mungkin. Mas Wisnu percaya saja sama saya.” Ucapnya sambil kita  menuju ruang besuk penjara.
            Akhirnya, setelah seminggu lamanya kembali kudapati wajah ibuku. Meski masih terlihat keras roman mukanya namun mata itu terlihat kelu.
            Kami berpelukan erat. Ada yang beda dengan pelukannya kali ini. Kali ini aku merasakan pelukan seorang ibu seperti dua puluh tahun yang lalu, saat ayah kami belum berpulang.
            “Apa khabar kamu, Le.” Tanya ibuku masih menggunakan panggilan Thole untuk semua anak laki-lakinya.
            “Baik Bu.”
            “Istrimu dan anakmu mana?”
            Aku tercekat sesaat. Bingung harus dari mana aku memulai ceritanya. Aku memang tidak pandai berkata-kata.
            Meski dengan cara yang simple cenderung monoton akhirnya aku bertutur juga perihal anak istriku kepada ibu.
            “Benar bukan apa yang ibu katakan dulu. Istrimu itu bukan tipikal istri yang setia pada suami. Saat kita berlebih, mewah, serba ada, bahagia, dia ikut. Nah sekarang kamu lihat kan?!” suaranya mulai meninggi. Sosok ayah yang galak itu kembali merasuk ke dalam ibuku.
              “Tapi bu..”
            “Ah sudah sudah. Ibu tidak mau berdebat dengan kamu.” Tutupnya lantas beralih kepada pengacara kami.
            Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya bisa mendengar sayup-sayup dari seberang meja ini.
           
            Mendung makin menebal di pagi ini. Semendung hatiku yang risau dengan kasus ibuku yang semakin memanas itu. Aku mengambil koran yang ada di meja teras. Dan kudapati gambar rumahku yang telah bergaris polisi terpampang besar di halaman muka. Aku hanya bisa mengelus dada. Memang, sejak seminggu yang lalu, gelombang demonstrasi di depan rumahku semakin menggila. Entah dari ormas mana saja mereka datang. Kadang berujung anarkis. Sejak saat itu, aku menumpang di rumah adikku yang bungsu.
            Masuk ke ruang keluarga, kudapati adikku terduduk lesu di sofa malas depan televisi. Sama seperti aku, adikku pun lesu dengan musibah yang menimpa keluarga kami. Bedanya, istri dan anaknya masih bersamanya. Istri dan anakku, entah sekarang mereka kemana. Seminggu ini sudah tidak ada kabar. Pun dengan aku, sepertinya aku terlalu sibuk mengikuti kasus ibuku ini hingga mungkin lupa untuk berkabar dengan mereka. Biarlah, aku harus fokus pada ibuku terlebih dulu, setelah selesai baru aku cari mereka, begitu fikirku.

            Pagi ini sengaja aku tidak masuk kantor. Hari ini sidang ibuku yang kesekian kalinya di gelar. Agenda sidang kali ini adalah pembacaan putusan. Hatiku berdegup lebih cepat dari biasanya. Untung ini bukan hari Senin, jika iya pasti aku sudah terserang serangan jantung. Sungguh aku risau.

        Ruang sidang telah riuh dengan suara hadirin yang telah menyesak. Mayoritas dari mereka adalah orang yang benci dengan ibuku. Orang-orang yang merasa tersakiti dengan apa yang telah ibuku perbuat, meski itupun masih harus dibuktikan kebenarannya.
Tampak ibuku telah duduk manis di depan meja hijau itu. Masih sama, masih terlihat keras roman mukanya namun mata itu terlihat kelu. Ada sebersit takut menggayut.
Hakim ketua mulai mengkondisikan sidang. Menyuruh hadirin yang terlampau riuh untuk sejenak diam.
“….DINYATAKAN BEBAS…..”
Thok..Thok..Thok….
Keadaan mulai tak terkendali, suara-suara keras kembali menyeruak. Aku tidak peduli mereka.  Aku hanya terfikir ibuku. Kuhampiri dan kupeluk erat dirinya. Kulihat Alloysius dan rekan pengacaranya tersenyum.
“Kamu tidak usah khawatir Le, benar salah itu tidak mungkin tertukar. Mari kita pulang ke rumah.” Ibuku tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar