SHE'S MY FATHER
Hujan turun saat amarah kami mulai
mereda.
“Pokoknya aku minta cerai.” Ucapnya
lirih, kedua telapak tangannya masih menutup mukanya yang tertunduk. Isak masih
lemah terdengar.
“Apakah harus begitu?” tanyaku
padanya.
“Terpaksa mas, aku malu. Keluargaku
malu. Keluarga besarku malu mas.”
“Tapi Mi, sudah sepuluh tahun kita
bersama. Kita sudah punya Satria. Kita hidup bahagia.”
“Kemarin! Kemarin kita bahagia.
Tetapi setelah semua ini terungkap, aku sudah tidak bahagia lagi. Aku sudah
tidak bisa bersamamu lagi mas. Aku malu…”
Tangisnya kembali pecah.
Huftt…apa yang aku bisa perbuat
sekarang. Koran-koran serta tajuk berita televisi menuliskannya besar-besar.
Berita ini telah luas menyebar kepada masyarakat. Pantaslah jika istriku malu.
Begitupun aku.
Kulihat Utami, istriku beranjak dari
tempat duduknya. Dia mengambil koper besar, mengambil pakaiannya beberapa dari
lemari. Lalu mengemasnya dalam koper.
Aku hanya bisa menghela napas saja
melihat tindakan istriku. Ingin rasanya tangan ini bergerak dan menahannya
untuk tidak pergi. Namun, seperti ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa tidak
mampu melakukan itu.
“Satria aku bawa.” Ucapnya padaku
kemudian.
Mungkin kejadian ini tidak akan
pernah terjadi andai pada saat itu aku berani mencegah apa yang akan di perbuat
ibuku. Namun, aku hanyalah seorang anak laki-laki yang kurang tegas saat
berhadapan dengan ibuku. Orang tuaku satu-satunya. Seorang single parent yang kuat, tegas, dan dominan dalam mendidik
anak-anaknya. Seorang ibu yang mengambil peran seorang ayah dalam membesarkan
anak-anaknya. Mungkin, ketegasan ibuku malah jauh lebih besar jika di
bandingkan dengan ayah teman-temanku kala itu. Pun, begitu hingga hari ini, ibu
masih sangat mendominasi kami. Bagi kami, dia adalah ibu yang lemah lembut
sekaligus seorang ayah yang disiplin, tegas atau mungkin bisa dikatakan galak.
Hari sudah beranjak siang ketika handphone pribadiku berbunyi.
“Halo Mas..” suara istriku dari
seberang sana.
“Ya halo, ada apa Mi.”
“Bisa tidak kalau Mas ke sini
sekarang. Anakmu nangis terus mencari Mas dari pulang sekolah tadi.”
“Aduh, menangis kenapa?”
“Aku juga tidak tahu, dia terus
nanyain kamu. Mas bisa ke sini sebentar tidak?”
“Oh iya iya, aku usahakan.”
“Cepat ya Mas, aku sudah pusing. Satria nangis terus.”
Brakk…suara gagang telepon di
banting.
Hatiku bertanya-tanya sepanjang
perjalanan mengapa anakku menangis terus sedari tadi seperti kata istriku.
Bukan kebiasaan Satria seperti itu. Anakku bukan tipikal anak cengeng
menurutku. Aku jarang sekali mendapatinya menangis. Apa yang terjadi
sebenarnya.
Brumm…mobilku aku parkirkan di bawah
pohon Mangga rumah mertuaku ini. Ya, aku datang ke rumah mertuaku. Utami
memilih minggat dari rumah ibuku saat
kasus yang menimpa mertuanya benar-benar membesar.
“Lama banget sih Mas, tuh anakmu di kamar nangis terus.”
Sambut istriku saat membuka pintu rumah besar ini.
“Macet.” Jawabku singkat.
Segera aku menuju kamar di mana
anakku terbaring menangis.
Satria segera beringsut dari
pembaringannya lalu memelukku erat-erat. Masih menangis.
“Ayah...” ucapnya terisak.
“Iya, ada apa jagoan ayah kok
menangis seperti ini?” Jawabku sambil melepaskan pelukannya dan mendudukkannya
kembali di kasur.
Aku berjongkok di depannya.
“Ayah baca koran, kan?” Tanya
Satria.
“Iya, kenapa memangnya?”
“Tadi teman-teman Satria bawa koran,
lalu menunjukkannya ke Satria. Di Koran itu ada foto nenek besar sekali. Ada
tulisannya besar juga. Pratiwi, Anggota Dewan terdakwa kasus suap proyek
bantuan Koperasi Desa akan di vonis minggu depan. Lalu teman-teman mulai
mengolok-olok Satria. Cucu koruptor…Cucu
koruptor….begitu yah.” Cerita anakku detil.
Kembali aku menghela nafas
dalam-dalam.
“Ayah, jadi benar yang Satria lihat
kemarin di berita televisi itu nenek. Nenek itu korupsi ya yah?” lanjut anakku.
Aku bingung bagaimana harus
menjelaskan semua ini kepada anakku. Bagaimana aku menyampaikannya dengan
kalimat yang tepat untuk seorang bocah sembilan tahun ini. Bagaimana jika dia salah
pengertian nanti. Bagaimana jika dia berubah membenci neneknya, lalu membenci
aku seperti yang terjadi pada istriku. Bagaimana?
Rumah ini terasa sepi ketika hanya
aku dan beberapa pembantu yang masih berada di sini. Rumah ini sepi tanpa gelak
tawa candaan anakku dengan ibuku. Rumah ini sepi tanpa suara televisi yang
ditonton istriku. Rumah ini sepi tanpa adanya tamu-tamu ibuku yang entah siapa
itu yang datang setiap malam. Rumah ini sepi ketika ibuku telah pergi. Dan
sekarang benar-benar sepi saat istri dan anakku juga pergi. Aku kesepian.
“Bapak bangun, sudah malam silahkan
tidur di dalam. Nanti masuk angin.” Ucap mbok Sumi membangunkanku yang ternyata
tertidur di kursi teras belakang rumah.
“Makasih ya mbok.”
“Berat Mas Wisnu, semua saksi
memberikan pernyataan yang memberatkan ibu.” Kata Alloysius, pengacara kami.
“Apa benar-benar tidak bisa di
usahakan pak? Maksud saya, apa tidak ada satupun saksi yang bisa meringankan.”
“Itu yang masih saya usahakan. Sebaik
mungkin. Mas Wisnu percaya saja sama saya.” Ucapnya sambil kita menuju ruang besuk penjara.
Akhirnya, setelah seminggu lamanya
kembali kudapati wajah ibuku. Meski masih terlihat keras roman mukanya namun
mata itu terlihat kelu.
Kami berpelukan erat. Ada yang beda
dengan pelukannya kali ini. Kali ini aku merasakan pelukan seorang ibu seperti
dua puluh tahun yang lalu, saat ayah kami belum berpulang.
“Apa khabar kamu, Le.” Tanya ibuku masih menggunakan
panggilan Thole untuk semua anak
laki-lakinya.
“Baik Bu.”
“Istrimu dan anakmu mana?”
Aku tercekat sesaat. Bingung harus
dari mana aku memulai ceritanya. Aku memang tidak pandai berkata-kata.
Meski dengan cara yang simple
cenderung monoton akhirnya aku bertutur juga perihal anak istriku kepada ibu.
“Benar bukan apa yang ibu katakan
dulu. Istrimu itu bukan tipikal istri yang setia pada suami. Saat kita
berlebih, mewah, serba ada, bahagia, dia ikut. Nah sekarang kamu lihat kan?!”
suaranya mulai meninggi. Sosok ayah yang galak itu kembali merasuk ke dalam
ibuku.
“Tapi bu..”
“Ah sudah sudah. Ibu tidak mau
berdebat dengan kamu.” Tutupnya lantas beralih kepada pengacara kami.
Entah apa yang mereka bicarakan, aku
hanya bisa mendengar sayup-sayup dari seberang meja ini.
Mendung makin menebal di pagi ini.
Semendung hatiku yang risau dengan kasus ibuku yang semakin memanas itu. Aku
mengambil koran yang ada di meja teras. Dan kudapati gambar rumahku yang telah
bergaris polisi terpampang besar di halaman muka. Aku hanya bisa mengelus dada.
Memang, sejak seminggu yang lalu, gelombang demonstrasi di depan rumahku
semakin menggila. Entah dari ormas mana saja mereka datang. Kadang berujung
anarkis. Sejak saat itu, aku menumpang di rumah adikku yang bungsu.
Masuk ke ruang keluarga, kudapati
adikku terduduk lesu di sofa malas depan televisi. Sama seperti aku, adikku pun
lesu dengan musibah yang menimpa keluarga kami. Bedanya, istri dan anaknya masih bersamanya. Istri dan anakku,
entah sekarang mereka kemana. Seminggu ini sudah tidak ada kabar. Pun dengan
aku, sepertinya aku terlalu sibuk mengikuti kasus ibuku ini hingga mungkin lupa
untuk berkabar dengan mereka. Biarlah, aku harus fokus pada ibuku terlebih
dulu, setelah selesai baru aku cari mereka, begitu fikirku.
Pagi ini sengaja aku tidak masuk
kantor. Hari ini sidang ibuku yang kesekian kalinya di gelar. Agenda sidang
kali ini adalah pembacaan putusan. Hatiku berdegup lebih cepat dari biasanya.
Untung ini bukan hari Senin, jika iya pasti aku sudah terserang serangan
jantung. Sungguh aku risau.
Ruang sidang telah riuh dengan suara
hadirin yang telah menyesak. Mayoritas dari mereka adalah orang yang benci
dengan ibuku. Orang-orang yang merasa tersakiti dengan apa yang telah ibuku
perbuat, meski itupun masih harus dibuktikan kebenarannya.
Tampak ibuku telah duduk manis di depan meja hijau itu. Masih sama, masih
terlihat keras roman mukanya namun mata itu terlihat kelu. Ada sebersit takut
menggayut.
Hakim ketua mulai mengkondisikan sidang. Menyuruh hadirin yang terlampau
riuh untuk sejenak diam.
“….DINYATAKAN BEBAS…..”
Thok..Thok..Thok….
Keadaan mulai tak terkendali, suara-suara keras kembali menyeruak. Aku tidak
peduli mereka. Aku hanya terfikir ibuku.
Kuhampiri dan kupeluk erat dirinya. Kulihat Alloysius dan rekan pengacaranya
tersenyum.
“Kamu tidak usah khawatir Le,
benar salah itu tidak mungkin tertukar. Mari kita pulang ke rumah.” Ibuku tersenyum.