CUKUP DOA SECUKUPNYA
Aku
terdiam. Mendengar ceritanya kata perkata. Meski aku tidak setuju
dengan apa yang dia ucapkan namun apa boleh buat. Aku hanya seorang
anak yang harus mematuhi ibunya. Emm… ibu tiri tepatnya. Meski
sebenarnya dia masih sedarah denganku. Dia kakak ibuku.
Tetapi
kali ini permintaannya keterlaluan. Mana bisa aku membunuh suamiku
sendiri. Dasar PKI. Iblis. Hanya karena iming-iming cukong busuk
makelar tanah itu aku harus membunuh suamiku. Begitu. Perempuan gila.
Gusti
jagat dewa batara, apa yang harus aku lakukan. Bagaimana aku bisa
memilih jika pilihannya adalah suami dan anakku. Aku tak mungkin
mampu hidup tanpa keduanya.
“Bagaimana,
Nduk? Kamu bisa kan melakukan ini. Demi keluarga. Demi trah keluarga
kita. Atau, terpaksa aku membunuh anakmu sebagai gantinya.”
Aku
masih terdiam. Suara gagak yang bertengger di gerbang pura
merongok-rongok menambah pilu hatiku. Adakah pilihan lain,
Gusti. Mengapa aku terlahir dalam keluarga seperti ini. Lebih baik
aku mati. Atau… dia yang mati.
Aku
kembali melihat belati perak yang sudah kugenggam sedari tadi.
Kulihat ibuku kembali menebar kemenyan di atas pedupaan membuat aroma
wangi menyeruak bergolak. Gusti, jika benar aku membunuhnya, apakah
aku menjadi anak durhaka. Tetapi ini demi keluargaku bukan. Aku harus
melindungi suami dan anak-anakku.
“Apa
yang kamu pikirkan lagi? Apakah kamu tidak mencintai keluargamu?!”
“Tapi,
Bu. Apakah tidak bisa diganti dengan orang lain?”
“Tidak
bisa!”
Baiklah
jika begitu, aku memang harus membunuhmu. Maaf ibu.
Akkgg…...
“Anak
bodoh! Bodoh kamu, Andini! Bodoh kamu!!”
Dia
meludahiku entah berapa kali. Aku menutup mata.
Kejadiannya
begitu cepat. Semoga anak-anakku nanti selamat. Suamiku harap kamu
berhati-hati. Sekarang kamu sendiri karena aku harus pergi.
Kurasakan
belati itu ditarik dari jantungku. Perempuan laknat itu kembali
meludahiku. Aku sudah tidak peduli dengan diriku. Aku hanya
mengkhawatirkan keluargaku. Nak, besok jangan pernah menangisi mayat
atapun kuburanku. Cukup beri ibu doa secukupnya. Mungkin besok ibu
akan berbahagia dengan Sang Kuasa.
Samar
kulihat ibuku berlalu meninggalkanku. Perempuan biadab, suatu hari belati itu pula yang akan merenggut nyawamu. Ucapku lirih, sesaat sebelum napas benar-benar terhenti. Kudengar gagag-gagak kembali merongok.
Semakin keras.
Painting belong to Margaret Bowland