HALO, SIAPA NAMAMU
Malam itu, di gudang
sekolah.
Lidya sekuat tenaga
memegang boneka batok kelapa yang terus bergetar hebat itu.
“Tolongin dong, Dini!”
Ucapnya panik.
Boneka Nini Thowok itu
mulai melemah.
“Oke, sekarang saatnya
kita bertanya.” Ucap Andini.
“Halo, siapa nama
kamu?”
Boneka itu mulai
mengguratkan kapur di papan tulis kecil yang telah tersedia. Tulisan
S-U-C-I tersusun kurang rapi namun jelas terbaca.
“Apakah kamu yang
merasuki raga teman kami tadi siang.”
Boneka kembali menulis.
YA.
“Kenapa?”
AKU BENCI KAMELIA. DIA
YANG MEMBUNUHKU.
Lalu boneka bergetar
hebat berputar tak terkendali. Andini dan Kamelia terhempas.
Siang hari. Saat sekolah
usai.
“Lidya, lantas kenapa
dia memilih Sasi untuk dia rasuki?”
“Aku juga tidak tahu.
Tetapi kamu tahu tidak kalau Sasi itu anak dari Ibu Kamelia?”
“Apa? Darimana kamu
tahu?”
“Mamaku yang memberi
tahu. Aku ceritakan perihal ini ke mama. Dia lantas memberi tahu aku
jika Sasi teman kita yang selalu kesurupan itu adalah anak Ibu
Kamelia.”
“Lantas hubungannya?”
Belum sempat Lidya
menjawab, seorang perempuan tiba-tiba telah ada di samping mereka.
Perempuan itu tersenyum.
“Anak-anak, bisa
tolongin ibu untuk membawa barang-barang ini ke gudang belakang?”
ucapnya kemudian.
“I..Iya Ibu Kamelia.”
Jawab Lidya dan Andini kompak, tergagap.
Malam harinya. Di gudang
belakang sekolah.
“Lidya, kamu yakin
dengan ini semua.”
“Yakinlah. Kamu tidak
mau kan Din, jika setiap hari anak itu kesurupan lalu menulari
teman-teman kita yang lain. Kemudian pelajaran kita terganggu. Aku
yakin, Ibu Kamelia ada hubungannya dengan ini semua.” Jawab Lidya
panjang lebar seraya menyiapkan sesaji Boneka Nini Thowok
“Apa yang berhubungan
denganku?”
Tiba-tiba, suara
perempuan terdengar datang dari arah belakang mengagetkan Lidya dan
Andini.
“IBU KAMELIA!!!!”
keduanya terperanjat.
“Kalian berdua selalu
ingin tahu, dan sekarang tampaknya kalian telah banyak tahu.” Ucap
Kamelia geram.
Lidya dan Andini mundur
saat kamelia mendekat ke arah mereka. Namun, tangan Kamelia tampak
lebih cekatan untuk meraih leher Lidya. Lidya tercekik. Nafasnya
mulai sengal. Lidya lemas ambruk ke lantai.
“Sekarang giliranmu!!”
Andini mundur hingga
terpojok di sudut ruangan.
“Kamu tidak bisa lari,
anak kurang ajar.”
Tiba-tiba….
Jlebbb….
Tonggak kayu patahan
kaki sebuah bangku menembus punggung Kamelia. Darah mengucur deras
dari tubuhnya. Badannya perlahan beringsut rebah bersimbah darah.
Andini terkejut
mendapati Sasi telah tampak di depannya.
“SASI..!!” Pekiknya.
Sasi tampak tersenyum.
Menunjukkan mulutnya yang penuh darah.
“Aku bukan Sasi.”
“Ka..kalau ka..kamu
bukan Sasi, lantas kamu siapa?” Andini terbata-bata. Ketakutan.
“Namaku Suci.
Ih..ih.ih…ih……..Nama kamu siapa?!”
Dhegg.
Painting belong to Sylvia Wishart - Cottage Interior c. 1968-72, oil on board, private collection © The Estate of Sylvia Wishart
Painting belong to Sylvia Wishart - Cottage Interior c. 1968-72, oil on board, private collection © The Estate of Sylvia Wishart
Tidak ada komentar:
Posting Komentar