Muryati gundah tiada henti
ketika di luar hujan semakin deras tertumpah. Hatinya cemas bukan kepalang
mendapati jam dinding telah menunjukkan pukul lima sore lebih. Dia
mondar-mandir gelisah di dalam gubuk reyotnya yang atapnya bocor di mana-mana.
Kembali dia menatap ke luar
jendela dan kembali nanar melihat hujan yang semakin deras mengamuk. Langit
semakin gelap menghitam. Masih tak didapatinya sosok yang ia tunggu. Kemana
gerangan Susanti, bocah ayu anak semata wayangnya.
Hari ini Minggu. Susanti libur
sekolah. Seperti biasa, di kala hari Minggu atau hari-hari libur lainnya tiba,
Susanti selalu membantu Muryati, ibunya yang janda untuk berjualan gorengan. Apalagi sore ini akan ada
pertandingan sepak bola antar kampung di lapangan desa. Susanti semakin
bersemangat untuk membantu ibunya yang janda.
Dengan senyum tersungging di
bibir kecilnya, Susanti berjalan sambil berdendang membawa dagangan gorengan ke
lapangan. Hatinya berbunga-bunga secerah mentari yang bersinar terang hari ini.
Ia yakin dagangannya akan laris manis.
Benar. Gorengan Susanti telah
berubah menjadi lembaran-lembaran rupiah di genggamannya bahkan sebelum sepak
bola antar kampung ini usai. Ia senang bukan kepalang. Dengan gembira segera ia
berlari kembali ke rumahnya untuk segera menyampaikan kabar gembira ini kepada
ibunya yang janda.
Namun, baru beberapa meter ia
berlari. Awan hitam datang bergulung-gulung menutup langit dan serta merta
menumpahkan hujan yang maha dahsyat derasnya. Susanti berteduh di bawah pohon
yang rindang.
Sementara di rumah Muryati
semakin gelisah. Jantungnya berdetak semakin kencang ketika suara halilintar
bergemuruh, berlomba-lomba memekak memecah derap turunnya air hujan. Pikirannya
semakin kacau. Kemana Susanti?
Tiba-tiba, dari kejauhan tampak
sesosok wanita mendekat ke arah rumahnya. Wanita itu berteriak kencang
memanggil namanya. Suaranya beradu nyaring dengan deras hujan yang turun.
“Mak Mur! Mbak Mur!”
“Ada apa Sum? Kenapa kamu
berteriak-teriak?” angsur Muryati ketika wanita itu telah samapi di gubuknya.
“Anakmu mbak. Anakmu!” ucap Sum
dengan histeris.
“Kenapa dengan anakku? Kenapa
dengan Susanti?” Muryati mulai menangis. Ia takut apa yang dipikirkannya
terjadi.
Segera Muryati bersama Sum
bergegas membelah hujan untuk menuju ke tempat Susanti dikatakan berada. Muryati
tak lagi menghiraukan derasnya air langit yang tumpah ini. Pikirannya hanya
tertuju pada anaknya. Susanti.
“Susanti!!” pekik Muryati ketika
melihat tubuh anaknya telah gosong kaku tertutup daun pisang. Meraung-raung ia
menangis. Suara tangisannya mampu mengalahkan gempita suara air hujan yang
masih saja deras mengguyur bumi. Beberapa tetangga mencoba menenangkannya.
Namun, Muryati malah menjadi. Ia menangis seraya tubuhnya berguling
mengejang-kejang di tanah yang basah bercampur lumpur.
Kali
ini tetangga-tetangganya mematung. Seolah tak kuasa bergerak melihat perempuan
paruh baya itu menggelepar kejang-kejang di tanah sambil terus meneriakkan nama
anaknya. Susanti. Kali ini tetangganya hanya mampu menemaninya dengan ikut berlinang
airmata.
Entah
apa yang Tuhan tulis untuk Muryati. Suami dan anak semata wayangnya di jemput
malaikat maut berkendara petir. Tetapi Tuhan maha rencana. Pun, pengasih lagi
penyayang. Muryati janda kini
sebatang kara. Ditengah hujan ia merana.
Sketch belong to laudatortemporisacti