Hei, kamu masih ingat bukan. Bahwa aku telah mengenalmu sejak setahun yang lalu. Ah, berbunga-bunga hatiku saat itu. Saat aku pertama jumpa denganmu. Tak mungkin aku bisa lupa. Bahkan, aku bisa mengingat setiap detilnya. Maafkan jika waktu itu aku terkesan ngebet. Terkesan murahan. Namun ini cintaku, cinta yang harus aku perjuangkan. Berjuang mendapatkanmu meski terkesan buru-buru. Habisnya, kamu terlalu diam untuk ukuran seorang jantan.
Lalu, kamu ingat bukan
saat kita berdua berjalan membelah hujan. Berdua ikut mengalir
berkawan banjir, beratap petir. Tak ada takut sedikitpun di hatiku
kala itu. Karena ada kamu di sampingku. Memeluk, melindungiku. Tak
kurasakan dinginnya angin malam yang menghujam kulit tubuhku, karena
ada kamu di sebelahku, membagi hangat cintamu kepadaku.
Lalu, kamu ingat juga
kan, saat kita nakal bersama. Menutup pintu kamar dan hanya kita
berdua di sana. Kamu mulai nakal mencumbuku. Ajaibnya, aku menyambut
cumbuanmu. Ya, karena aku cinta kamu. Bukan hanya sekedar nafsu.
Hingga, huft…. Teman karibku mengacaukan semuanya. Dia teriakkan
namaku sekeras-kerasnya. Hingga kita berdua kaget sejadinya. Dan,
saat dia datang menghampiri, kamu sembunyi di dalam lemari. Sempit. Rasain! Kamu nakal, sih. Aku terpingkal saat itu. Melihat dirimu yang terlihat tersiksa begitu.
Maafkan aku.
Kemudian, hari-hari pun
berlalu. Semua terjadi begitu indahnya. Tak ada cela di antara kita.
Semua berjalan manis. Awalnya aku curigai itu. Mengapa kamu terlalu
baik padaku. Mengapa kamu selalu memanjakanku. Hingga pernah aku
cemburu pada semua temanku. Di saat mereka cerita, tentang
pertengkaran dengan pasangannya. Ada yang mencakar, ada yang mencaci,
ada yang minggat, ada-ada saja. Aku ingin mencoba. Aku mau
merasakannya. Bertengkar denganmu. Sekali saja maksudku. Tapi,
tidak usahlah. Memang mungkin cerita cinta kita tercipta begini.
Begitu indah penuh harmoni. Tak perlu caci atau maki. Aku ingin waktu
berhenti di sini dan tak berputar lagi. Aku mau begitu. Karena aku
bahagia bersamamu.
Hingga, benar hari ini
genap tiga ratus enam puluh lima hari aku menjadi kekasihmu. Kamu
katanya datang malam ini. Penerbangan terakhir. Tak sabar rasanya
untuk segera meloncat ke pelukmu. Melepas rindu yang telah meraja di
ubun-ubunku. Memelukmu seerat-eratnya. Tak akan lagi aku
melepaskannya. Aku kapok kamu tinggal-tinggal. Ternyata jika kita merindu, waktu berjalan
begitu lambat. Aku tidak kuat. Selalu memikirkanmu dan tak bisa
menjumpai ragamu di sisiku adalah phobia yang aku derita. Aku takut
akan hal itu.
Tapi ini bagaimana,
sejam lamanya aku telah menunggu. Dari jadwal datangnya pesawatmu.
Dan masih aku tak menemukan batang hidungmu. Dag dig dug, tak sabar
aku menunggu. Sabar ya, begitu kata petugas bandara. Tak tahu apa
mereka kalau aku ini sedang gulana. Aku gundah. Aku resah. Aku galau.
Aku risau. Aku pusing, tujuh keliling. Memikirkanmu. Di mana kamu
kekasihku.
Dua jam lamanya aku di
sini menunggu. Dari jadwal datangnya pesawatmu. Tapi tak kunjung jua
aku temukan wajah manismu. Ah, aku semakin gundah. Aku bertambah
resah. Galauku meningkat. Risauku merapat. Kini aku tak hanya pusing.
Aku sudah migraine. Di manakah dirimu sayangku.
Aku mulai berkeringat.
Saat papan jadwal menyebutkan pesawatmu tak kunjung berangkat. Mondar
mandir ke sana ke mari. Aku sudah seperti anak ayam kehilangan
induknya. Aku bingung tiada tara. Aku takut kehilanganmu. Tuhan,
tolong aku!
Aku sudah tak ingat apa
yang telah aku perbuat. Aku tersadar di ruang medis bandara. Masih
tidak ada kamu di sana. Orang-orang ini siapa? Asing semua. Istirahat
dulu saja, tadi anda pingsan. Ucap salah satunya. Aku tak terlalu
mendengar kalimat berikutnya yang keluar dari gadis manis itu. Aku
sibuk mencarimu.
“Dorr!!”
Suara itu mengagetkanku.
Suara kamu. Aku girang bukan kepalang. Segera aku melompat. Memelukmu
kencang dan erat. Aku susur bibirmu dengan bibirku. Aku sudah tak
peduli lagi di mana ini. Rinduku sudah tak mau di ajak menunggu.
“Eits… gak pake
nangis.”
Aku tahan air mataku
namun aku tak mampu. Aku terlalu lama menunggu menanggung rindu.
Padahal baru tiga bulan katamu. Ternyata jika kita merindu, waktu
berjalan begitu lambat. Aku tidak kuat. Peluk aku erat, Beib…
jangan kau lepas.
Kulihat petugas medis
bandara bergidik risih melihatku memelukmu. Seperti baru pertama kali
bertemu dengan manusia seperti kita. Tapi apa peduliku. Aku sudah
terlalu lama menunggu menanggung rindu. Rindu kepadamu. Yang kini
telah lengkapi masa indahku bersamamu. Tepat setahun sejak pertama
kita bertemu. Terima kasih untuk memberi
tiga ratus enam puluh lima hari terindah sepanjang
hidupku, kekasihku. Aku cinta kamu. Peluk aku erat, Beib… jangan
kau lepas.
sketch belong to s0ftit