CUTI SAKIT HATI
Bosan ah makan hati mulu. Aku capek. Aku lelah membenci. Aku ingin berhenti membenci
barang sehari. Bisa?
Seperti biasa
hari ini aku menyiapkan keperluannya berangkat bekerja. Sarapan pagi yang
menggugah selera, kemeja dasi yang tersusun rapi, tas kantornya yang sudah rapat terkunci. Apalagi? Tinggal menunggunya keluar dari kamar mandi. Lama sekali.
Sudah tujuh
bulanan ini suamiku begitu. Berlama-lama ketika mandi, ngapain aja aku tak tahu. Dulu. Sekarang aku sudah tahu jawabnya. Ternyata
dia punya kebiasaan asyik bertelpon ria. Telpon perempuan.
Sakit hatiku
saat tahu dia selingkuh. Apalagi perempuan itu tak lebih cantik dariku. Memendam
luka terasa sesak di dada. Perih mengiris tiap sudut jiwaku. Setiap hari,
setiap jam, menit, detik tujuh bulan terakhirku laksana silet yang rajin
menguliti kulitku lembar perlembar. Perih.
Perih ketika
dia berdusta setiap waktu. Supaya bisa bertemu dengan si perempuan penggangu. Pernah
suatu kali aku ikuti kemana ia pergi. Katanya meeting. Meeting kepalamu!
Lekat dalam ingatanku waktu itu. Sebuah kalung emas mewah menjuntai indah
keluar dari saku jasnya. Berpindah dengan manisnya ke sebuah leher yang jika
boleh aku dengan senang hati akan menggoroknya. Perih.
Lalu suatu
kali, ia ijin keluar kota. Cukup lama. Semingguan. Katanya urusan pekerjaan. Bah!
Sakit hatiku. Sakit. Tujuh bulan lamanya luka ini menganga dan entah kapan akan
tersembuhkan.
“Sudah selesai
mas mandinya. Aku tunggu di meja makan.”
Suamiku yang
tampan keluar kamar dengan gagahnya. Ah, andai dia tak menyakiti hatiku, aku
ingin bahagia bersamanya selamanya. Tapi, mungkin kenyataan tak seindah impian.
Sudah tujuh bulanan hatiku perih tak tertahankan. Aku duduk di depannya
melihatnya makan. Air mataku mulai berlinang.
“Loh, sayang
kenapa nangis?!”
Ia
menghampiriku.
“Aku ingin
cuti mas.”
“Cuti apa?
Kamu kan tidak bekerja.”
“Aku ingin
cuti dari sakit hati.”
Suamiku
tertawa mendengar jawabanku. Ini mungkin menjadi tawa terakhirnya. Perlahan tawa itu berubah
menjadi kejang. Ia merintih dan mengaduh tanpa henti. Ia menggelepar bagai
cacing kepanasan. Mulutnya mengeluarkan busa. Darah menyusul setelahnya.
sketch belong to 123rf